Karakter Sinopsis Film Gaya Hidup
lamongan Bojonegoro Tuban Gersik Ngawi
tes sd-sma MTK,B.INDO,B.ing tes sd-sma-smk B.ing tes psikometrika tes ipa
pakde nono Resto Romantis di Jkt Hokben Delivery Bakmi GM Delivery PHD - Pizza Hut
Lirik Lagu Sinopsis Film Gaya Hidup
Liputan 6 berita jakarta Gaya Hidup

Selasa, 03 April 2012

Contoh Cerpen

Cerpen Budi Darma
September 18, 2008, 9:54 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Kisah Pilot Bejo
Cerpen Budi Darma (dimuat di Kompas, 02/11/2007 )
Barang siapa ingin menyaksikan pilot berwajah kocak, tengoklah Pilot Bejo. Kulitnya licin, wajahnya seperti terbuat dari karet, dan apakah dia sedang gemetar ketakutan, sedih, atau gembira, selalu memancarkan suasana sejuk. Karena itu, kendati dia suka menyendiri, dia sering dicari.
Kalau dilihat dari ilmu pengetahuan, entah apa, mungkin pula sosiologi, dia masuk dalam kawasan panah naik. Hampir semua neneknya hidup dari mengangkut orang lain dari satu tempat ke tempat lain. Ada leluhurnya yang menjadi kusir, lalu keturunannya menjadi masinis, dan setelah darah nenek moyang mengalir kepada dia, dia menjadi pilot.
Karena pekerjaan mengangkut orang dapat memancing bahaya, maka, turun menurun mereka selalu diberi nama yang menyiratkan keselamatan. Dia sendiri diberi nama Bejo, yaitu “selalu beruntung,” ayahnya bernama Slamet dan karena itu selalu selamat, Untung, terus ke atas, ada nama Sugeng, Waluyo, Wilujeng, dan entah apa lagi. Benar, mereka tidak pernah kena musibah.
Namun ingat, kendati pilot lebih terhormat daripada masinis, dan masinis lebih dihargai daripada kusir, masing-masing pekerjaan juga mempunyai kelas masing-masing. Ada kusir yang mengangkut orang-orang biasa, ada pula yang dipelihara oleh bangsawan dan khusus mengangkut bangsawan. Slamet, ayah Pilot Bejo, juga mengikuti panah naik: ayahnya, yaitu nenek Pilot Bejo, hanyalah seorang masinis kereta api jarak pendek, mengangkut orang-orang desa dari satu desa ke kota-kota kecil, sementara Waluyo, ayah Pilot Bejo, tidak lain adalah masinis kereta api ekspres jarak jauh.
Dibanding dengan ayahnya, kedudukan Pilot Bejo jauh lebih baik, meskipun Pilot Bejo tidak lain hanyalah pilot sebuah maskapai penerbangan AA (Amburadul Airlines), yaitu perusahaan yang dalam banyak hal bekerja asal-asalan. Selama tiga tahun AA berdiri, tiga pesawat telah jatuh dan membunuh semua penumpangnya, dua pesawat telah meledak bannya pada waktu mendarat dan menimbulkan korban- korban luka, dan paling sedikit sudah lima kali pesawat terpaksa berputar-putar di atas untuk menghabiskan bensin sebelum berani mendarat, tidak lain karena rodanya menolak untuk keluar. Kalau masalah keterlambatan terbang, dan pembuatan jadwal terbang asal-asalan, ya, hampir setiap harilah.
Perjuangan Bejo untuk menjadi pilot sebetulnya tidak mudah. Setelah lulus SMA dia menganggur, karena dalam zaman seperti ini, dalam mencari pekerjaan lulusan SMA hanyalah diperlakukan sebagai sampah. Untunglah ayahnya mau menolong, tentu saja dengan minta tolong seorang saudara jauh yang sama sekali tidak suka bekerja sebagai kusir, masinis, pilot, atau apa pun yang berhubungan dengan pengangkutan. Orang ini, Paman Bablas, lebih memilih menjadi pedagang, dan memang dia berhasil menjadi pedagang yang tidak tanggung- tanggung.
Ketika dengan malu-malu Bejo menemuinya, dengan lagak bijak Paman Bablas berkhotbah: “Bejo? Jadi pilot? Jadilah pedagang. Kalau sudah berhasil seperti aku, heh, dapat menjadi politikus, setiap saat bisa menyogok, dan mendirikan maskapai penerbangan sendiri, kalau perlu kelas bohong-bohongan.”
Mungkin karena wajah Bejo kocak, Paman Bablas tidak sampai hati untuk menolak. Maka, semua biaya pendidikan Bejo di Akademi Pilot ditanggung oleh Paman Bablas. Kendati otak Bejo sama sekali tidak cemerlang, akhirnya lulus, dan resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot.
Namun, resmi mempunyai hak untuk menjadi pilot, tidak selamanya dapat menjadi pilot, bahkan ada juga yang akhirnya menjadi pelayan restoran. Mirip-miriplah dengan para lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan. Mereka resmi berhak menjadi pimpinan perusahaan, tapi perusahaan siapakah yang mau mereka pimpin?
Andaikata dia minta tolong Paman Bablas lagi, kemungkinan besar dia akan diterima oleh maskapai besar. Namun dia tahu diri, apalagi dia percaya, darah nenek moyang serta namanya pasti akan terus melesatkan panah ke atas. Panah benar-benar melesat ke atas, ketika maskapai penerbangan SA (Sontholoyo Airlines) dibuka.
Setelah mengikuti ujian yang sangat mudah sekali, Bejo langsung diterima tanpa perlu latihan-latihan lagi, hanya diajak sebentar ke ruang simulasi, ke hanggar, melihat-lihat pesawat, semua bukan milik Sontholoyo Airlines, lalu diberi brosur. Ujian kesehatan memang dilakukan, oleh seorang dokter, Gemblung namanya, yang mungkin seperti dia sendiri, sudah bertahun-tahun menganggur. Dokter Gemblung bertanya apakah dia pernah operasi dan dia menjawab tidak pernah, meskipun sebenarnya dia pernah operasi usus buntu.
Pada hari pertama akan terbang, dia merasa bangga sekali. Dengan pakaian resmi sebagai pilot, dia menunggu jemputan dari kantor. Dia tahu, beberapa hari sebelum terbang dia pasti sudah diberi tahu jadwal penerbangannya, tapi hari itu dia tidak tahu akan terbang ke mana. Melalui berbagai peraturan dia juga tahu, paling lambat satu jam sebelum pesawat mulai terbang, pilot sudah harus tahu keadaan pesawat dengan jelas.
Demikianlah, sejak pagi sekali dia sudah menunggu di rumah, dan akhirnya, memang jemputan datang. Sopir ngebut lebih cepat daripada ambulans, menyalip sekian banyak kendaraan di sana dan di sini, karena, katanya, sangat tergesa-gesa. Dia baru tahu dari bos, bahwa hari itu sekonyong-konyong dia harus menjemput Pilot Bejo.
Begitu tiba di kantor Sontholoyo di bandara, Pilot Bejo dengan mendadak diberi tahu untuk terbang ke Makassar. Sebagai seorang pilot yang ingin bertanggung jawab, dia bertanya data-data terakhir mengenai pesawat. Dengan nada serampangan bos berkata: “Gitu saja kok ditanyakan. Kan sudah ada yang ngurus. Terbang ya terbang.”
Demikianlah, dengan tangan gemetar dan doa-doa pendek, Pilot Bejo mulai menerbangkan pesawatnya. Sebelum masuk pesawat dia sempat melihat sepintas semua ban pesawat sudah gundul, cat di badan pesawat sudah banyak mengelupas, dan setelah penumpang masuk, dia sempat pula mendengar seorang penumpang memaki-maki karena setiap kali bersandar, kursinya selalu rebah ke belakang.
Hari pertama disusul hari kedua, lalu disusul hari ketiga, dan demikianlah seterusnya sampai tahun ketiga tiba. Dia tidak berkeberatan lagi untuk dijemput terlambat lalu diajak ngebut ke bandara, merasa tidak perlu lagi bertanya mengenai data-data pesawat, merasa biasa mendengar penumpang memaki-maki, dan tenang-tenang saja dalam menghadapi segala macam cuaca. Darah nenek moyang dan namanya pasti akan menjamin dia, apa pun yang terjadi.
Tapi, mengapa manusia menciptakan kata “tapi”? Tentu saja, karena “tapi” mungkin saja datang setiap saat. Dan “tapi” ini datang ketika Pilot Bejo dalam keadaan payah karena terlalu sering diperintah bos untuk terbang dengan jadwal yang sangat sering berubah-ubah dengan mendadak, gaji yang dijanjikan naik tapi tidak pernah naik-naik, mesin pesawat terasa agak terganggu, dan beberapa kali mendapat teguran keras karena beberapa kali melewati jalur yang lebih jauh untuk menghindari badai, dan entah karena apa lagi.
Demikianlah, dalam keadaan lelah, dengan mendadak dia mendapat perintah untuk terbang ke Nusa Tenggara Timur. Awan hitam benar-benar pekat. Hujan selama beberapa jam menolak untuk berhenti.
Pesawat beberapa kali berguncang-guncang keras, beberapa penumpang berteriak-teriak ketakutan. Semua awak pesawat sudah lama tahan banting, tapi kali ini perasaan mereka berbeda. Dengan suara agak bergetar seorang awak pesawat mengumumkan, bahwa pesawat dikemudikan oleh pilot bernama Bejo, dan nama ini adalah jaminan keselamatan.
“Percayalah, Pilot Bejo berwajah kocak, tetap tersenyum, tidak mungkin pesawat menukik.”
Pilot Bejo sendiri merasa penerbangan ini berbeda. Hatinya terketar-ketar, demikian pula tangannya. Meskipun wajahnya kocak, hampir saja dia terkencing-kencing.
Dia tahu, bahwa seharusnya tadi dia mengambil jalan lain, yang jauh lebih panjang, namun terhindar dari cuaca jahanam. Dia tahu, bahwa dia tahu, dan dia juga tahu, kalau sampai melanggar perintah bos lagi untuk melewati jarak yang sesingkat-singkatnya, dia pasti akan kena pecat. Sepuluh pilot temannya sudah dipecat dengan tidak hormat, dengan kedudukan yang disahkan oleh Departemen Perhubungan, bunyinya, “tidak layak lagi untuk menjadi pilot selama hayat masih di kandung badan,” dengan alasan “membahayakan jiwa penumpang.”
Meskipun ketika masih belajar di Akademi Pilot dulu dia tidak pernah menunjukkan keistimewaan, dia tahu bahwa dalam keadaan ini dia harus melakukan akrobat. Kadang-kadang pesawat harus menukik dengan mendadak, kadang-kadang harus melesat ke atas dengan mendadak pula, dan harus gesit membelok ke sana kemari untuk menghindari halilintar. Tapi dia tahu, bos akan marah karena dia akan dituduh memboros-boroskan bensin. Dia juga tahu, dalam keadaan apa pun seburuk apa pun, dia tidak diperkenankan untuk melaporkan kepada tower di mana pun mengenai keadaan yang sebenarnya. Kalau ada pertanyaan dari tower mana pun, dia tahu, dia harus menjawab semuanya berjalan dengan amat baik.
Tapi, dalam keadaan telanjur terjebak semacam ini, pikirannya kabur, seolah tidak ingat apa-apa lagi, kecuali keadaan pesawat. Bisa saja dia mendadak melesat ke atas, menukik dengan kecepatan kilat ke bawah, lalu belok kanan belok kiri untuk menghindari kilat-kilat yang amat berbahaya, namun dia tahu, pesawat pasti akan rontok. Dia tahu umur pesawat sudah hampir dua puluh lima tahun dan sudah lama tidak diperiksa, beberapa suku cadangnya seharusnya sudah diganti, radarnya juga sudah beberapa kali melenceng.
Perasaannya sekonyong menjerit: “Awas!” Dengan kecepatan kilat pesawat melesat ke atas, dan halilintar jahanam berkelebat ganas di bawahnya. Lalu, dengan sangat mendadak pula pesawat menukik ke bawah, dan halilintar ganas berkelebat di atasnya.
Semua penumpang menjerit-jerit, demikian pula semua awak pesawat termasuk kopilot, kecuali dia yang tidak menjerit, tapi berteriak-teriak keras: “Bejo namaku! Bejo hidupku! Bejo penumpangku!” Pesawat berderak-derak keras, terasa benar akan pecah berantakan. ***





















Cerpen Kuntowijoyo
September 18, 2008, 10:16 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Anjing-anjing Menyerbu Kuburan
Cerpen Kuntowijoyo
IA tidak usah khawatir. Sekalipun kecibak air sungai, bahkan batu yang menggelinding oleh kakinya di dalam air terdengar jelas, tapi tidak seorang pun akan mendengar. Gelap malam dan udara dingin telah memaksa para lelaki penduduk desa di atas menggeliat di bawah sarung-sarung mereka. Para perempuan mendekami anak-anak mereka seperti induk ayam yang ingin melindungi anaknya dari kedinginan.
Tidak seorang pun di sungai, pencari ikan terakhir sudah pulang, setelah memasang bubu. Bilah-bilah bambu yang menandai bubu itu muncul di atas air, tampak dalam gelap malam itu. Tidak ada angin, pohonan menunduk lesu setelah seharian berjuang melawan terik matahari. Ketika perjalanannya sampai di persawahan, hanya kunang-kunang yang menemaninya. Dan di ujung persawahan itu, ada gundukan tanah. Dalam gundukan tanah itulah terletak kuburan-kuburan desa. Dia tinggal mencari timbunan tanah yang masih baru. Kuburan itulah yang ia cari : seorang perempuan telah meninggal pada malam Selasa Kliwon. Itu telah disebarkan dari desa ke desa, seperti api yang membakar jerami kering di sawah.
Dengan celana dan baju tentara yang lusuh, yang dibelinya dari tukang rombeng di pasar, ia keluar rumah. Digulungnya baju itu ke atas, dan menyembullah otot lengannya. Ia berjalan tanpa sandal. Di tangannya adalah plastik hitam. Dalam gelap malam, plastik itu nyaris tak tampak. Ada teplok di rumahnya, tapi lampu itu kalah dengan gelap malam.
“Ke mana, Kang?” Tanya istrinya, ketika dia keluar lewat tengah malam itu.
“Ronda”.
“Bukan harinya kok ronda?”
“Hh”
Ia tahu orang desa akan menjaga kuburan itu sepanjang malam. Mereka akan bergerombol di sekitar petromaks yang dibawa dari desa. Mereka akan mendirikan atap dari daun kepala, mencegah kantuk dengan mengobrol atau main kartu. Makan, makanan kecil, dan minum akan dikirim dari desa. Tetapi itu pun tidak perlu dikhawatirkan. Ia telah membawa beras kuning dari dukun dalam kantung plastik. Apa yang harus dikerjakan ialah menabur beras itu di empat penjuru angin yang mengelilingi para penjaga kubur. Selanjutnya, biarkanlah beras kuning itu bekerja.
Ia mengendap-endap dalam gelap. Terdengar dari jauh canda orang-orang di bawah bertepe, atap dari daun kepala itu.
“Mati kau! Terimalah, ini as!” kata orang itu sambil membantingkan kartunya di tikar plastik. Ia menaburkan beras kuning, tanda kemenangan, dan mengucapkan mantra.
“Rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen, rem-rem sidem premanen.” Gurunya menyebut jimat itu dengan Begananda, aji penyirep yang diturunkan oleh Raden Indrajit, pangeran dari Alengkadiraja. Begananda telah menidurkan prajurit Rama, dan akan menidurkan orang-orang yang menjaga kuburan. Setelah selesai satu arah, ia harus bergerak ke arah lain. Setelah selesai dengan kiblat papat, arah yang keempat dan orang-orang sudah tertidur, ia harus menaburkan beras kuning yang kelima kali di pancer, pusat, tempat orang-orang menjaga. Ketika ia menaburkan beras kuning yang kedua kalinya, terdengar kentong dipukul jauh di desa. Beruntunglah ia, makam itu terletak di gundukan pinggir desa, sehingga kentong itu tidak berpengaruh apa-apa pada penduduk desa yang di makam itu.
Kentong terdengar lagi ketika ia menaburkan beras ketiga kalinya. Ada tanda-tanda bahwa orang mulai mengantuk. “Oahem suk ruwah mangan apem,” kata seorang keras-keras, sambil menguap. Dan suara-suara mulai berhenti ketika ia menaburkan beras keempat kalinya.
***
IA menunggu sebentar. “Sabar, sabar, bekerja itu  jangan grusa-grusu,” katanya pada diri sendiri. Ia keluar dari gelap.
Dilihatnya orang-orang sudah tertidur. Tempat itu seperti bekas orang bunuh diri minum racun. Disebarnya beras kuning terakhir, dan mengucapkan mantera. Orang-orang tertidur, dibuai mimpi indah yang tak ingin segera berakhir. Seorang pemain kartu terlena, ditangannya masih ada setumpuk kartu yang belum habis dibagikan. Semut yang menggotong butir nasi berhenti di jalan, tertidur. Cengkerik berhenti berbunyi. Rumput-rumput menunduk lesu. Kunang-kunang berhenti terbang dan mencari tambatan, tertidur di seberang tempat. Angin berhenti mengalir. Laki-laki itu menuju petromaks dan mematikannya.
Ia mendekati kuburan baru. Beruntunglah dia, tanah itu berpasir. Dia harus mengeduk kuburan itu dengan tangan telanjang, mengeluarkannya dan menggigit telinga kanan-kiri dengan giginya, dan membawanya lari dengan mulutnya ke rumah guru. Dia mencabut patok-patok, mulai menggali timbunan itu. Ini adalah laku terakhir baginya. Dan yang akan membuatnya kaya-raya telah memintanya bertapa tujuh hari tujuh malam, dan mencari daun telinga orang meninggal pada hari Anggara Kasih. Pada hari kelima pertapaannya di sebuah hutan yang gawat kelewat-lewat karena sangat angker seluruh tubuhnya serasa dikeroyok semut. Dan hari keenam dirasanya tempat itu banjir, membenamkannya sampai leher. Pada hari terakhir ia dijumpai kakek-kakek dengan janggut putih, dan ditanyai apa keinginannya. Ia sudah siap dengan air gula kelapa, yang akan dengan cepat memulihkan tenaganya.
Pendek kata, tujuh hari bertapa itu dia lulus. Dan sekarang ia menghadapi ujian terakhirnya! Kuburan orang yang meninggal Selasa Kliwon akan dijaga sampai hari ketujuh. Itulah sebabnya ia perlu bekal beras kuning dari guru.
Tidak, bukan karena ia kemasukan setan, kalau ia bekerja keras menggali kubur itu dengan tangannya. Karena dengan cara itulah ia akan bisa mendandani istrinya dengan sepasang subang emas berlian di telinganya, dan di tangannya melilit ular-ularan dari emas. Niatnya untuk mengganti gigi kuning istrinya dengan emas sudah lama diurungkannya, karena memakai gigi emas bukan zamannya. Anak-anaknya akan memakai sepatu ke sekolah, dan uang SPP tidak akan menunggak. Ia akan membelikan truk supaya keponakannya tidak usah ke kota. Dan adiknya yang bungsu, yang jadi TKI di Bahrain, akan dipanggilnya pulang, sebab cukup banyak yang bisa dikerjakan di rumah. Lebih dari segalanya, ia akan pergi pada lurah dan menyerahkan tanahnya yang seperempat hektar dengan gratis yang semula dipatok dengan harga lima ratus rupiah semeter untuk pembangunan lapangan golf. Ia akan membuka warung-warungan di rumahnya, sekedar untuk menutupi kekayaannya yang bakal mengucur tanpa henti. Benar, mungkin warungnya tidak laku, tapi uang di bawah bantalnya takkan pernah kering. Namun kalau terpaksa mencuri, akan dimintanya danyang hanya mencuri harta orang-orang kaya yang serakah. Setelah kaya, dia akan berhenti mempekerjakan danyangnya.
Sekalipun jari-jarinya kasar oleh kerja serabutan sebagai kuli, menggali kuburan dengan tangan itu membuat jari-jarinya sakit. Keringat yang keluar dari tubuhnya yang panas karena bekerja di ruangan sempit itu mengalir ke jari-jarinya dan terasa perih. Tetapi hal itu tidak dirasakannya. Eh, dalam benar mereka menggali. Peti kayu itu sudah tampak. Kaya juga orang ini, pakai keranda segala, pikirnya. Kayu-kayu dibuangnya. Dan sebagian tanah itu berguguran dan menutup mayat. Agak kesulitan dia mengeluarkan mayat itu, karena lubangnya sempit dan gelap, sinar bintang tertutup oleh tanah, dan dia tidak bisa berdiri di situ tanpa menginjak mayat. Akhirnya, dengan kedua kakinya mengangkang dia merenggut kain kafan mayat dan berusaha mengangkat. Mayat itu masih baru, bau kapur barus, amis, dan bau tanah bercampur kapur. Dia tidak peduli mayat itu rusak waktu dinaikkan.
Mayat itu dingin dan kaku. Dia berhasil mengangkat mayat itu, tetapi ruangan terlalu sempit baginya untuk menggigit dua telinganya. Ia memutuskan untuk menaikkan mayat itu. Dan mayat itu tergeletak di tanah.
Dengan cekatan dibukanya kain kafan yang menutupi kepala. Eh, rupanya rambut perempuan itu terlalu panjang dan menutupi telinganya. Pada waktu itulah dia mendengar baung anjing untuk pertama kalinya. Suara anjing itu panjang dan berat, memecah kesunyian malam, menambah betapa keramatnya malam itu karena suara itu dipantulkan oleh pohon-pohon, oleh bambu berduri yang mengelilingi desa, oleh sumur-sumur berlumut, dan rumah-rumah tembok.
***
DITERANGI bintang-bintang di atas ia dapat melihat dua ekor anjing, seekor putih dan seekor tidak putih, menunggui dia bekerja. Sekalipun matanya tidak bisa melihat, tapi dia tahu bahwa anjing-anjing itu menjulurkan lidah, meneteskan air liur, dan memperlihatkan taring. Dia berpikir mungkin itu anjing siluman, sebab ia lupa bersila khidmat, “Demi periprayangan yang mbaureksa makam, jangan diganggu, izinkanlah cucumu bekerja.” Diucapkannya kalimat itu tiga kali. Tetapi anjing itu malah bertambah, jadi empat. Ia dapat melihat dalam temaram anjing-anjing itu menantikan kesempatan. Tahulah ia, bahwa bekerja cepat.
Ketika ia membungkuk, mau menggigit telinga, seekor anjing menyambar. Dia membatalkan niatnya, menggunakan tangan untuk mengusir anjing itu. Anjing yang tiga ekor berusaha merobek kain kafan dengan moncongnya dan cakarnya. Dia menggunakan sebelah kakinya untuk mengusir anjing-anjing itu.  Didengarnya ada anjing-anjing lain menggonggong di pinggir makam.  Mereka segera menyerbu mayat.
Celaka, anjing itu menjadi tujuh ekor. Mereka tidak memberi kesempatan baginya untuk menggigit telinga lagi. Sementara itu jari-jari tangannya yang terluka, mungkin oleh kerikil-kerikil tajam terasa pedih. Tapi dia tidak mau mundur. Setiap kali ia mau menggigit telinga ada saja mengganggunya. Kalau saja anjing-anjing itu mau diajak berdamai, sebenarnya dia hanya butuh dua telinga, selebihnya  biarlah untuk anjing-anjing itu. Dia mau bilang pada anjing-anjing bahwa bagian kepala itu kebanyakan hanya tulang, kalau mau bagian yang berdaging, pahalah tetapi jangan kepala. Biarlah bagian penuh tulang itu untuk bangsa manusia, untuk bangsa hewan ya bagian yang berdaging. Tetapi anjing-anjing itu tidak mau berkompromi. Kain kafan itu robek-robek oleh moncong dan cakar anjing.
Sebagai orang desa matanya terbiasa dengan malam. Jelas terlihat bahwa daging di bagian paha mayat mulai robek. Dia melupakan urusan telinga itu. Yang akan dikerjakan ialah mengusir anjing-anjing, yang mungkin binatang liar yang tak tahu aturan. Jari-jarinya mulai mengeluarkan darah. Ia menahan rasa sakitnya, dan mempergunakan tangan dan kakinya untuk menyerang binatang-binatang itu. Dia ingat bahwa ada patok kayu di kepala dan kaki kuburan. Ditemukannya kayu-kayu itu. Dia mengamuk dengan kayu-kayu itu di tangan. Ternyata hasilnya lumayan. Anjing-anjing itu menepi dari mayat.
Itu memberinya kesempatan untuk kembali membungkuk. Yang dikerjakannya sederhana : menggigit telinga-telinga dan pergi. Tetapi anjing-anjing liar itu tidak memberi kesempatan. Begitu ia tidak memperhatikan mereka dan membungkuk, anjing-anjing mulai menyambar lagi. Rupanya ia harus mengusir anjing-anjing agak jauh. Dan dengan kayu  dan “sh sh sh” ia berhasil mengusir mereka lebih jauh. Lagi, anjing-anjing itu menyerbu waktu ia membungkuk.
Darah di jari-jarinya menderas, membasahi kayu-kayu di tangannya. Matanya berkunang-kunang, dan ia merasakan badannya mulai lemas. Dan anjing-anjing itu semakin galak. Mereka tidak lari ke pinggir, tapi menahan kesakitan oleh pukulan-pukulan kayu yang makin lemah.
Suara-suara mereka yang gaduh dan lolongan– sebagian lolongan karena kesakitan – telah membangunkan orang-orang yang menjaga kuburan.
Orang-orang itu masih sempat melihat dia mengayunkan kayu, sebelum akhirnya ia terjatuh, tak sadar. Anjing-anjing itu menyelinap ke balik kegelapan ketika melihat banyak orang datang. Mereka memandangi mayat dan laki-laki pingsan itu.
“Pencuri!” kata seorang.
“Penyelamat!” kata yang lain.
* * *





Cerpen Ahmad Tohari
September 18, 2008, 4:01 pm
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
KANG SARPIN MINTA DIKEBIRI
Karya : Ahmad Tohari
KANG Sarpin meninggal karena kecelakaan lalu lintas pukul enam tadi pagi. Ia sedang dalam perjalanan ke pasar naik sepeda dengan beban sekuintal beras melintang pada bagasi. Para saksi mengatakan, ketika naik dan hendak mulai mengayuh, Kang Sarpin kehilangan keseimbangan. Sepedanya oleng dan sebuah mobil barang menyambarnya dari belakang. Lelaki usia lima puluhan itu terpelanting, kemudian jatuh ke badan jalan. Kepala Kang Sarpin luka parah, dan ia tewas seketika. Satu lagi penjual beras bersepeda mati menyusul beberapa teman yang lebih dulu meninggal dengan cara sama.
Beban sekarung beras pada bagasi dan terkadang sekarung kecil lainnya pada batangan adalah risiko besar bagi setiap penjual beras bersepeda. Tetapi mereka tak jera. Setiap hari mereka membeli padi dari petani, kemudian mengolahnya di kilang lalu menjual berasnya ke pasar. Mereka tak peduli sekian teman telah meninggal menjadi bea jalan raya yang kian sibuk dan kian sering minta tumbal nyawa.
Berita tentang kematian itu sampai kepada saya lewat Dalban, ipar Kang Sarpin sendiri. Ketika menyampaikan kabar itu Dalban tampak biasa saja. Wajahnya tetap jernih. Kata-katanya ringan. Mulutnya malah cengar-cengir. Entahlah, kematian Kang Sarpin tampaknya tidak menjadi kabar duka.
Di rumah Kang Sarpin saya telah melihat banyak orang berkumpul. Jenazah sudah terbungkus kafan dan terbujur dalam keranda. Tetapi tak terasa suasana duka cita. Wajah para pelayat cair-cair saja. Mereka duduk santai dan bercakap sambil merokok seperti dalam kondangan atau kenduri. Ada juga yang bergurau dan tertawa. Asap mengambang di mana-mana melayang seperti kabut pagi. Ah, saya harus bilang apa. Di rumah Kang Sarpin pagi itu memang tak ada duka cita atau bela sungkawa. Kalaulah ada seorang bemata sembab karena habis menangis, dialah istri Kang Sarpin. Tampaknya istri Kang Sarpin berduka seorang diri.
Setelah menaruh uang takziyah di kotak amal saya mencari kursi yang masih kosong. Sial. Satu-satunya kursi yang tersisa berada tepat di sebelah Dalban. Ipar Kang Sarpin masih ngoceh tentang si mati. Dan saya tak mengerti mengapa omongan si Dalban seperti menyihir para pelayat. Orang-orang tampak tekun menikmati cerita tentang almarhum dari mulut nyinyir itu.
“Ya, wong gemblung itu sudah meninggal,” kata Dalban dengan enak. Wajahnya tampak tanpa beban.
“Bagaimana aku tak menyebut iparku wong gemblung. Coba dengar. Suatu ketika di kilang padi, orang-orang menantang Sarpin: bila benar jantan maka dengan upah lima ribu rupiah dia harus berani membuka celana di depan orang banyak. Mau tahu tanggapan Sarpin? Tanpa pikir panjang Sarpin menerima tantangan itu. Ia menelanjangi dirinya bulat-bulat di depan para penantang. Lalu enak saja, dengan kelamin berayun-ayun, dia berjalan berkeliling sambil meminta upah yang dijanjikan.”
Cerita Dalban terputus oleh gelak tawa orang-orang. Dan Dalban makin bersemangat.
“Ya, orang-orang hanya nyengir dan mengaku kalah. Malu dan sebal. Sialnya mereka harus mengumpulkan uang lima ribu. Tetapi Yu Cablek, penjual pecel di kilang padi yang melihat kegilaan Sarpan berlari sambil berteriak, ‘Sarpin gemblung, dasar wong gemblong!’’’
Orang-orang tertawa lagi. Dan jenazah Kang Sarpin terbujur diam dalam keranda hanya beberapa langkah dari mereka. Saya mengerutkan alis. Ah, sebenarnya orang sekampung, lelaki dan perempuan, sudah tahu siapa dan bagaimana Kang Sarpin. Dia memang lain. Dia tidak hanya mau menelanjangi diri di depan orang banyak. Ada lagi tabiatnya yang sering membuat orang sekampung mengerutkan alis karena tak habis pikir. Kang Sarpin sangat doyan main perempuan dan tabiat itu tidak ditutupi-tutupinya. Dia dengan mudah mengaku sudah meniduri sekian puluh perempuan. “Saya selalu tidak tahan bila hasrat birahi tiba-tiba bergolak,” kata Kang Sarpin suatu saat.
“Tetapi Kang Sarpin masih ada baiknya juga,” cerita Dalban lagi. “Meski gemblung dia berpantangan meniduri perempuan bersuami. Kalau soal janda sih, jangan ditanya; yang tua pun dia mau. Dan hebatnya lagi dia juga tak pernah melupakan jatah bagi istrinya, jatah lahir maupun batin.”
***
DALBAN terus ngoceh dan orang-orang tetap setia mendengar dan menikmati ceritanya. Saya juga ikut mengangguk-angguk. Tetapi saya juga merenung. Sebab tadi malam, kira-kira sepuluh jam sebelum kematiannya Kang Sarpin muncul di rumah saya. Di bawah lampu yang tak begitu terang wajahnya kelihatan berat. Ketika saya tanya maksud kedatangannya, Kang Sarpin tak segera membuka mulut. Pertanyaan saya malah membuatnya gelisah. Namun lama-kelamaan mulutnya terbuka juga.
Ketika mulai berbicara ucapannya terdengar kurang jelas. “Mas, saya sering bingung. Sebaiknya saya harus bagaimana?”
“Maksud Kang Sarpin?”
“Ah, Mas kan tahu saya orang begini, orang jelek. Wong gemblung. Doyan perempuan. Saya mengerti, sebenarnya semua orang tak suka kepada saya. Sudah lama saya merasa orang sekampung akan lebih senang bila saya tidak ada. Saya adalah aib di kampung ini.”
“Kang, semua orang sudah tahu siapa kamu,” kata saya sambil tertawa. “Dan ternyata tak seorang pun mengusikmu. Lalu mengapa kamu pusing?”
“Tetapi saya merasa menjadi kelilip orang sekampung. Ah, masa-iya, saya akan terus begini. Saya ingin berhenti menjadi aib kampung ini. Lagi pula sebentar lagi saya punya cucu. Saya sudah malu jadi wong gemblung. Saya sudah ingin jadi wong bener, orang baik-baik. Tetapi bagaimana?”
“Yang begitu kok Tanya saya? Mau jadi orang baik-baik, semuanya tergantung Kang Sarpin sendiri, kan? Kalau mau baik, jadilah baik. Kalau mau tetap gemblung, ya terserah.”
“Tidak! Saya ingin berhenti gemblung. Sialnya, kok ternyata tidak mudah. Betul. Mengubah tabiat ternyata tidak mudah. Dan inilah persoalannya mengapa saya datang ke mari.”
Saya pandangi wajah Kang Sarpin. Matanya menyorotkan keinginan yang sangat serius. Anehnya, saya gagal menahan senyum.
“Bila Kang Sarpin bersungguh-sungguh ingin jadi wong bener, kenapa tidak bisa? Seperti saya bilang tadi, masalahnya tergantung kamu, bukan?”
“Sulit Mas,” potong Sarpin dengan mata berkilat-kilat. “Saya sungguh tak bisa!”
“Kok? Tidak bisa atau tak mau?”
“Tak bisa.” Kang Sarpin menunduk dengan menggeleng sedih.
“Lho, kenapa?”
“Ah, Mas tidak tahu apa yang terjadi dalam diri saya. Burung saya lho, Mas! Burung saya; betapapun saya ingin berhenti main perempuan, dia tidak bisa diatur. Dia amat bandel. Bila sedang punya mau, burung sama sekali tak bisa dicegah. Pokoknya dia harus dituruti, tak kapan, tak di mana. Sungguh Mas, burung saya sangat keras kepala sehingga saya selalu dibuatnya jengkel. Dan bila sudah demikian saya tak bisa berbuat lain kecuali menuruti apa maunya.
“Sekarang, Mas, saya datang kemari untuk minta bantuan. Tolong. Saya suka rela diapakan saja asal saya bisa jadi wong bener. Saya benar-benar ingin berhenti jadi wong gemblung.”
Terasa pandangan Kang Sarpin menusuk mata saya. Saya tahu dia sungguh-sungguh menunggu jawaban. Sialnya, lagi-lagi saya gagal menahan senyum. Kang Sarpin tersinggung.
“Mas, mungkin saya harus dikebiri.”
Saya terkejut. Dan Kang Sarpin bicara dengan mata terus menatap saya.
“Ya. Saya rasa satu-satunya cara untuk menghentikan kegemblungan saya adalah kebiri. Ah, burung saya yang kurang ajar itu memang harus dikebiri. Sekarang Mas, tolong kasih tahu dokter mana yang kiranya mau mengebiri saya. Saya tidak main-main. Betul Mas, saya tidak main-main!”
Tatapan Kang Sarpin makin terasa menusuk-nusuk mata saya. Wajahnya keras. Dan saya hanya bisa menarik napas panjang.
“Entah di tempat lain Kang, tetapi di sini saya belum pernah ada orang dikebiri. Keinginanmu sangat ganjil, Kang.”
“Bila tak ada dokter mau mengebiri, saya akan pergi kepada orang lain. Saya tahu di kampung sebelah ada penyabung yang pandai mengebiri ayam aduannya. Saya kira, sebaiknya saya pergi ke sana. Bila penyabung itu bisa mengebiri ayam, maka dia pun harus bisa mengebiri saya. Ya. Besuk, sehabis menjual beras ke pasar ….”
“Jangan Kang,” potong saya. Tatapan Kang Sarpin kembali menusuk mata saya. “Kamu jangan pergi ke tukang sabung ayam. Dokter memang tidak mau mengebiri kamu. Tetapi saya kira dia punya cara lain untuk menolong kamu. Besuk Kang, kamu saya temani pergi ke dokter.”
Wajah Kang Sarpin perlahan mengendur. Pundaknya turun dan napasnya lepas seperti orang baru menurunkan beban berat. Setelah menyalakan rokok Kang Sarpin menyandarkan ke belakang. Tak lama kemudian, setelah minta pengukuhan janji saya untuk mengantarnya ke dokter, Kang Sarpin minta diri. Saya mengantarnya sampai ke pintu. Ketika saya berbalik tiba-tiba sebuah pertanyaan muncul di kepala; apakah Kang Sarpin adalah lelaki yang disebut cucuk senthe? Di kampung ini cucuk senthe adalah sebutan bagi lelaki dengan dorongan birahi meledak-ledak dan liar sehingga yang bersangkutan pun tak bisa mengendalikan diri. Entahlah.
***
SAYA tersadar ketika semua orang bangkit dari tempat duduk masing-masing. Rupanya Modin yang akan memimpin upacara pelepasan jenazah sudah datang. Bahkan keranda sudah diusung oleh empat lelaki yang berdiri di tengah halaman. Kini suasana hening. Dalban yang sejak pagi terus ngoceh, juga diam.
Modin mengawali acara dengan memintakan maaf bagi almarhum kepada semua yang hadir. Modin juga menganjurkan kepada siapa saja yang punya utang piutang dengan Kang Sarpin untuk segera menyelesaikannya dengan para ahli waris. Sebelum doa dibacakan, modin tidak melupakan tradisi kampung kami; meminta semua orang memberi kesaksian tentang jenazah yang hendak dikubur.
“Saudara-saudara, saya meminta kalian bersaksi apakah yang hendak kita kubur ini jenazah orang baik-baik?”
Hening. Orang-orang saling berpandangan dengan sudut mata. Saya melihat Dalban menyikut lelaki di sebelah. “Bagaimana? Sarpin itu tukang main perempuan. Apa harus kita katakan dia orang baik-baik?”
Masih hening. Saya merasa semua orang menanggung beban rasa pakewuh, serba salah. Maka Modin mengulang pertanyaannya, apakah yang hendak dimakamkan adalah jenazah orang baik-baik. Sepi. Anehnya tiba-tiba saya merasa mulut saya bergerak.
“Baik!”
Suara saya yang keluar serta merta bergema dalam kelengangan. Saya melihat semua orang juga Modin, tertegun lalu menatap saya. Entahlah, saat itu saya bisa menyambut tatapan mereka dengan senyum.
Keranda bergerak bersama langkah empat lelaki yang memikulnya. Bersama orang banyak yang berjalan sambil bergurau, saya ikut mengantar Kang Sarpin ke kuburan. Saya tak menyesal dengan persaksian saya. Di mata saya seorang lelaki yang di ujung hidupnya sempat bercita-cita jadi wong bener adalah orang baik. Entahlah bagi orang lain, entah pula bagi Tuhan.
* * *
Cerpen A Mustofa Bisri
September 18, 2008, 10:43 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Gus Jakfar
Cerpen: A Mustofa Bisri (Sumber: Kompas, Edisi 06/23/2002)

Kata Kiai, Gus Jakfar itu lebih tua dari beliau sendiri,” cerita Kang Solikin suatu hari kepada kawan-kawannya yang sedang membicarakan putera bungsu Kiai Saleh itu,
“Saya sendiri tidak paham apa maksudnya.”
“Tapi, Gus Jakfar memang luar biasa,” kata Mas Bambang, pegawai Pemda yang sering mengikuti pengajian Subuh Kiai Saleh, “Matanya itu lho. Sekilas saja beliau melihat kening orang, kok langsung bisa melihat rahasianya yang tersembunyi. Kalian ingat, Sumini anaknya penjual rujak di terminal lama yang dijuluki perawan tua itu. Sebelum dilamar orang sabrang, kan ketemu Gus Jakfar. Waktu itu Gus Jakfar bilang,
‘Sum, kulihat keningmu kok bersinar, sudah ada yang ngelamar ya?!’. Tak lama kemudian orang sabrang itu datang melamarnya.”
“Kang Kandar kan juga begitu,” timpal Mas Guru Slamet, “kalian kan mendengar sendiri ketika Gus Jakfar bilang kepada tukang kebun SD IV itu,
‘Kang, saya lihat hidung sampeyan kok sudah bengkok, sudah capek menghirup nafas ya?!
‘Lho, ternyata besoknya Kang Kandar meninggal.”
“Ya. Waktu itu saya pikir Gus Jakfar hanya berkelakar,” sahut Ustadz Kamil, “nggak tahunya beliau sedang membaca tanda pada diri Kang Kandar.”
“Saya malah mengalami sendiri,” kata Lik Salamun, pemborong yang dari tadi sudah kepingin ikut bicara,
“waktu itu, tak ada hujan tak ada angin, Gus Jakfar bilang kepada saya,
‘Wah saku sampeyan kok mondol-mondol, dapat proyek besar ya?!
‘Padahal saat itu saku saya justru sedang kempes. Dan percaya atau tidak, esok harinya, saya memenangkan tender yang diselenggarakan pemda tingkat propinsi.”
“Apa yang begitu itu yang disebut ilmu kasyaf?” tanya Pak Carik yang sejak tadi hanya asyik mendengarkan.
“Mungkin saja,” jawab Ustadz Kamil, “makanya saya justru takut ketemu Gus Jakfar. Takut dibaca tanda-tanda buruk saya, lalu pikiran saya terganggu.”
***
MAKA ketika kemudian sikap Gus Jakfar berubah, masyarakat pun geger; terutama para santri kalong, orang-orang kampung yang ikut mengaji tapi tidak tinggal di pesantren seperti Kang Solikin, yang selama ini merasa dekat dengan beliau. Mula-mula Gus Jakfar menghilang berminggu-minggu, kemudian ketika kembali tahu-tahu sikapnya berubah menjadi manusia biasa. Dia sama sekali berhenti dan tak mau lagi membaca tanda-tanda. Tak mau lagi memberikan isyarat-isyarat yang berbau ramalan. Ringkas kata dia benar-benar kehilangan keistimewaannya.
“Jangan-jangan ilmu beliau hilang pada saat beliau menghilang itu,” komentar Mas Guru Slamet penuh penyesalan, “wah, sayang sekali! Apa gerangan yang terjadi pada beliau?”
“Kemana beliau pergi saat menghilang pun, kita tidak tahu,” kata Lik Salamun,
“kalau saja kita tahu kemana beliau, mungkin kita akan mengetahui apa yang terjadi pada beliau dan mengapa beliau kemudian berubah.”
“Tapi bagaimana pun, ini ada hikmahnya,” ujar Ustadz Kamil, “paling tidak kini, kita bisa setiap saat menemui Gus Jakfar tanpa merasa deg-degan dan was-was; bisa mengikuti pengajiannya dengan niat tulus mencari ilmu. Maka jika kita ingin mengetahui apa yang terjadi dengan gus kita ini, hingga sikapnya berubah atau ilmunya hilang, sebaiknya kita langsung saja menemui beliau.”
Begitulah, sesuai usul Ustadz Kamil, pada malam Jumat sehabis wiridan salat Isya, dimana Gus Jakfar prei, tidak mengajar, rombongan santri kalong sengaja mendatangi rumahnya. Kali ini hampir semua anggota rombongan merasakan keakraban Gus Jakfar, jauh melebihi yang sudah-sudah. Mungkin karena kini tidak ada lagi sekat berupa keseganan, was-was, dan rasa takut. Setelah ngobrol kesana-kemari akhirnya Ustadz Kamil berterus terang mengungkapkan maksud utama kedatangan rombongan,
”Gus, di samping silaturahmi seperti biasa, malam ini kami datang juga dengan sedikit keperluan khusus. Singkatnya, kami penasaran dan sangat ingin tahu latar belakang perubahan sikap sampeyan.”
“Perubahan apa?” tanya Gus Jakfar sambil tersenyum penuh arti, “Sikap yang mana? Kalian ini ada-ada saja. Saya kok merasa tidak berubah.”
“Dulu sampeyan kan biasa dan suka membaca tanda-tanda orang,” tukas Mas Guru Slamet, “kok sekarang tiba-tiba mak pet, sampeyan tak mau lagi membaca bahkan diminta pun tak mau.”
“O, itu,” kata Gus Jakfar seperti benar-benar baru tahu. Tapi dia tidak segera meneruskan bicaranya. Diam agak lama, baru setelah menyeruput kopi di depannya, dia melanjutkan: “Ceritanya panjang.” Dia berhenti lagi, membuat kami tidak sabar, tapi kami diam saja.
“Kalian ingat, ketika saya lama menghilang?” akhirnya Gus Jakfar bertanya, membuat kami yakin dia benar-benar siap untuk bercerita, maka serempak kami mengangguk.
“Suatu malam saya bermimpi ketemu ayah dan saya disuruh mencari seorang wali sepuh yang tinggal di sebuah desa kecil di lereng gunung yang jaraknya dari sini sekitar 200 km ke arah selatan. Nama Kiai Tawakkal. Kata ayah dalam mimpi itu, hanya kiai-kiai tertentu yang tahu tentang kiai yang usianya sudah lebih 100 tahun ini. Santri-santri yang belajar kepada beliau pun rata-rata sudah disebut kiai di daerah masing-masing.”
“Terus terang, sejak bermimpi itu, saya tidak bisa menahan keinginan saya untuk berkenalan dan kalau bisa berguru kepada wali Tawakkal itu. Maka dengan diam-diam dan tanpa pamit siapa-siapa, saya pun pergi ke tempat yang ditunjukkan ayah dalam mimpi dengan niat bilbarakah dan menimba ilmu beliau. Ternyata ketika sampai disana, hampir semua orang yang saya jumpai mengaku tidak mengenal nama Kiai Tawakkal. Baru setelah seharian melacak kesana-kemari, ada seorang tua yang memberi petunjuk.
“Cobalah nakmas ikuti jalan setapak disana itu,’ katanya, ‘Nanti nakmas akan berjumpa dengan sebuah sungai kecil, terus saja nakmas menyeberang. Begitu sampai seberang, nakmas akan melihat gubuk-gubuk kecil dari bambu. Nah kemungkinan besar orang yang nakmas cari akan nakmas jumpai di sana. Di gubuk yang terletak di tengah-tengah itulah tinggal seorang tua seperti yang nakmas gambarkan. Orang sini memanggilnya Mbah Jogo. Barangkali itulah yang nakmas sebut Kiai siapa tadi?’ ‘Kiai Tawakkal.’
‘Ya, kiai Tawakal. Saya yakin itulah orangnya, Mbah Jogo.’ Saya pun mengikuti petunjuk orang tua itu, menyeberang sungai dan menemukan sekelompok rumah gubuk dari bambu. Dan betul, di gubuk bambu yang terletak di tengah-tengah, saya menemukan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo sedang dikelilingi santri-santrinya yang rata-rata sudah tua. Saya diterima dengan penuh keramahan, seolah-olah saya sudah merupakan bagian dari mereka. Dan kalian tahu? Ternyata penampilan Kiai Tawakkal sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang tua. Tubuhnya tegap dan wajahnya berseri-seri. Kedua matanya indah memancarkan kearifan. Bicaranya jelas dan teratur. Hampir semua kalimat yang meluncur dari mulut beliau bermuatan kata-kata hikmah.” Tiba-tiba Gus Jakfar berhenti, menarik nafas panjang, baru kemudian melanjutkan, “Hanya ada satu hal yang membuat saya terkejut dan terganggu. Saya melihat di kening beliau yang lapang, ada tanda yang jelas sekali, seolah-olah saya membaca tulisan dengan huruf yang cukup besar berbunyi ‘Ahli neraka’. Astaghfirullah! Belum pernah selama ini saya melihat tanda yang begitu gamblang. Saya ingin tidak mempercayai apa yang saya lihat. Pasti saya keliru. Masak seorang yang dikenal wali, berilmu tinggi, dan disegani banyak kiai yang lain, disurat sebagai ahli neraka. Tak mungkin. Saya mencoba meyakin-yakinkan diri saya bahwa itu hanyalah ilusi, tapi tak bisa. Tanda itu terus melekat di kening beliau. Bahkan belakangan saya melihat tanda itu semakin jelas ketika beliau habis berwudhu. Gila.” ]
“Akhirnya niat saya untuk menimba ilmu kepada beliau, meskipun secara lisan memang saya sampaikan demikian, dalam hati sudah berubah menjadi keinginan untuk menyelidiki dan memecahkan keganjilan ini. Beberapa hari saya amati perilaku Kiai Tawakkal, saya tidak melihat sama sekali hal-hal yang mencurigakan. Kegiatan rutinnya sehari-hari tidak begitu berbeda dengan kebanyakan kiai yang lain: mengimami salat jamaah; melakukan salat-salat sunnat seperti dhuha, tahajjud, witir, dan sebagainya, mengajar kitab-kitab (umumnya kitab-kitab besar); mujahadah; dzikir malam; menemui tamu; dan semisalnya. Kalau pun beliau keluar biasanya untuk memenuhi undangan hajatan atau-dan ini sangat jarang sekali- mengisi pengajian umum. Memang ada kalanya beliau keluar pada malam-malam tertentu; tapi menurut santri-santri yang lama, itu pun merupakan kegiatan rutin yang sudah dijalani Kiai Tawakkal sejak muda. Semacam lelana brata kata mereka.”
“Baru setelah beberapa minggu tinggal di ‘pesantren bambu’, saya mendapat kesempatan atau tepatnya keberanian untuk mengikuti Kiai Tawakkal keluar. Saya pikir inilah kesempatan untuk mendapatkan jawaban atas tanda tanya yang selama ini mengganggu saya.”
“Begitulah, pada suatu malam purnama, saya melihat kiai keluar dengan berpakaian rapi. Melihat waktunya yang sudah larut, tidak mungkin beliau pergi untuk mendatangi undangan hajatan atau lainnya. Dengan hati-hati, saya pun membuntutinya dari belakang; tidak terlalu dekat, tapi juga tidak terlalu jauh. Dari jalan setapak hingga ke jalan desa, kiai terus berjalan dengan langkah yang tetap tegap. Akan kemana beliau gerangan? Apa ini yang disebut semacam lelana brata? Jalanan semakin sepi; saya pun semakin berhati-hati mengikutinya, khawatir tiba-tiba kiai menoleh ke belakang.”
“Setelah melewati kuburan dan kebun sengon, beliau berbelok. Ketika kemudian saya ikut belok, saya kaget, ternyata sosoknya tak kelihatan lagi. Yang terlihat justru sebuah warung yang penuh pengunjung. Terdengar gelak tawa ramai sekali. Dengan bengong, saya mendekati warung terpencil dengan penerangn petromak itu. Dua orang wanita-yang satu masih muda dan yang satunya lagi agak lebih tua-dengan dandanan yang menor, sibuk melayani pelanggan sambil menebar tawa genit kesana-kemari. Tidak mungkin kiai mampir ke warung ini, pikir saya; ke warung biasa saja tidak pantas, apalagi warung yang suasananya saja mengesankan kemesuman ini. ‘Mas Jakfar!’ tiba-tiba saya dikagetkan oleh suara yang tidak asing di telinga saya, memanggil-manggil nama saya. Masya Allah, saya hampir-hampir tidak mempercayai pendengaran dan penglihatan saya. Memang betul, mata saya melihat Kiai Tawakkal melambaikan tangan dari dalam warung. Ah. Dengan kikuk dan pikiran tak karuwan, saya pun terpaksa masuk dan menghampiri kiai saya yang duduk santai di pojok. Warung penuh dengan asap rokok. Kedua wanita menor menyambut saya dengan senyum penuh arti. Kiai Tawakkal menyuruh orang di sampingnya untuk bergeser, ‘Kasi kawan saya ini tempat sedikit!’. Lalu, kepada orang-orang yang ada di warung, kiai memperkenalkan saya. Katanya: ‘Ini kawan saya, dia baru datang dari daerah yang cukup jauh. Cari pengalaman katanya.’ Mereka yang duduknya dekat, serta merta mengulurkan tangan, menjabat tangan saya dengan ramah; sementara yang jauh, melambaikan tangan.”
“Saya masih belum sepenuhnya menguasai diri, masih seperti dalam mimpi, ketika tiba-tiba saya dengar kiai menawari, ‘Minum kopi ya?’ Saya mengangguk asal mengangguk. ‘Kopi satu lagi, yu!’ kata kiai kemudian kepada wanita warung sambil mendorong piring jajan ke dekat saya. ‘Silakan! Ini namanya rondo royal, tape goreng kebanggaan warung ini!’ Lagi-lagi saya hanya menganggukkan kepala asal mengangguk.”
“Kiai Tawakkal kemudian asyik kembali dengan ‘kawan-kawan’nya dan membiarkan saya bengong sendiri. Saya masih tak habis pikir, bagaimana mungkin Kiai Tawakkal yang terkenal waliyullah dan dihormati para kiai lain, bisa berada di sini. Akrab dengan orang-orang beginian; bercanda dengan wanita warung. Ah, inikah yang disebut lelana brata? Ataukah ini merupakan dunia lain beliau yang sengaja disembunyikan dari umatnya? Tiba-tiba saya seperti mendapat jawaban dari tanda tanya yang selama ini mengganggu saya dan karenanya saya bersusah payah mengikutinya malam ini. O, pantas di keningnya kulihat tanda itu. Tiba-tiba sikap pandangan saya terhadap beliau berubah.
“Mas, sudah larut malam,” tiba-tiba suara Kiai Tawakkal membuyarkan lamunan saya, ‘kita pulang, yuk!’ Dan tanpa menunggu jawaban saya, kiai membayari minuman dan makanan kami, berdiri, melambai kepada semua, kemudian keluar. Seperti kerbau dicocok hidung, saya pun mengikutinya. Ternyata setelah melewati kebun sengon, Kiai Tawakkal tidak menyusuri jalan-jalan yang tadi kami lalui,
“Biar cepat, kita mengambil jalan pintas saja!’ katanya.
“Kami melewati pematang, lalu menerobos hutan, dan akhirnya sampai di sebuah sungai. Dan, sekali lagi saya menyaksikan kejadian yang menggoncangkan. Kiai Tawakkal berjalan di atas permukaan air sungai, seolah-olah di atas jalan biasa saja. Sampai di seberang, beliau menoleh ke arah saya yang masih berdiri mematung. Beliau melambai, ‘Ayo!’ teriaknya. Untung saya bisa berenang; saya pun kemudian berenang menyeberangi sungai yang cukup lebar. Sampai di seberang, ternyata Kiai Tawakkal sudah duduk-duduk di bawah pohon randu alas, menunggu.
‘Kita istirahat sebentar,’ katanya tanpa menengok saya yang sibuk berpakaian, ‘kita masih punya waktu, insya Allah sebelum subuh kita sudah sampai pondok.’ Setelah saya ikut duduk di sampingnya, tiba-tiba dengan suara berwibawa, kiai berkata mengejutkan, ‘Bagaimana? Kau sudah menemukan apa yang kau cari? Apakah kau sudah menemukan pembenar dari tanda yang kau baca di kening saya? Mengapa kau seperti masih terkejut? Apakah kau yang mahir melihat tanda-tanda, menjadi ragu terhadap kemahiranmu sendiri?’
Dingin air sungai rasanya semakin menusuk mendengar rentetan pertanyaan-pertanyaan beliau yang menelanjangi itu. Saya tidak bisa berkata apa-apa. Beliau yang kemudian terus berbicara.
“Anak muda, kau tidak perlu mencemaskan saya hanya karena kau melihat tanda ‘Ahli neraka’ di kening saya. Kau pun tidak perlu bersusah-payah mencari bukti yang menunjukkan bahwa aku memang pantas masuk neraka. Karena pertama, apa yang kau lihat belum tentu merupakan hasil dari pandangan kalbumu yang bening. Kedua, kau kan tahu, sebagaimana neraka dan sorga, aku adalah milik Allah. Maka terserah kehendak-Nya, apakah Ia mau memasukkan diriku ke sorga atau ke neraka. Untuk memasukkan hambaNya ke sorga atau neraka, sebenarnyalah Ia tidak memerlukan alasan. Sebagai kiai, apakah kau berani menjamin amalmu pasti mengantarkanmu ke sorga kelak? Atau kau berani mengatakan bahwa orang-orang di warung tadi yang kau pandang sebelah mata itu, pasti masuk neraka? Kita berbuat baik karena kita ingin dipandang baik oleh-Nya, kita ingin berdekat-dekat denganNya, tapi kita tidak berhak menuntut balasan kebaikan kita. Mengapa? Karena kebaikan kita pun berasal dari-Nya. Bukankah begitu?’
Aku hanya bisa menunduk. Sementara Kiai Tawakkal terus berbicara sambil menepuk-nepuk punggung saya,
“Kau harus lebih berhati-hati bila mendapat cobaan Allah berupa anugerah. Cobaan yang berupa anugerah tidak kalah gawatnya dibanding cobaan yang berupa penderitaan. Seperti mereka yang di warung tadi, kebanyakan mereka orang susah. Orang susah sulit kau bayangkan bersikap takabbur, ujub, atau sikap-sikap lain yang cenderung membesarkan diri sendiri. Berbeda dengan mereka yang mempunyai kemampuan dan kelebihan, godaan untuk takabbur dan sebagainya itu datang setiap saat. Apalagi bila kemampuan dan kelebihan itu diakui oleh banyak pihak.’
Malam itu saya benar-benar merasa mendapatkan pemahaman dan pandangan baru dari apa yang selama ini sudah saya ketahui.
‘Ayo, kita pulang!’ tiba-tiba kiai bangkit, ‘Sebentar lagi subuh. Setelah sembahyang subuh nanti, kau boleh pulang.’ Saya tidak merasa diusir; nyatanya memang saya sudah mendapat banyak dari kiai luar biasa ini.”
“Ketika saya ikut bangkit, saya celingukan. Kiai Tawakkal sudah tak tampak lagi. Dengan bingung saya terus berjalan. Kudengar azan subuh berkumandang dari sebuah surau, tapi bukan surau bambu. Seperti orang linglung, saya datangi surau itu dengan harapan bisa ketemu dan berjamaah salat subuh dengan Kiai Tawakkal. Tapi, jangankan Kiai Tawakkal, orang yang mirip beliau pun tak ada. Tak seorang pun dari mereka yang berada di surau itu yang saya kenal. Baru setelah sembahyang, seseorang menghampiri saya, ‘Apakah sampeyan Jakfar?’ tanyanya. Ketika saya mengiyakan, orang itu pun menyerahkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi barang-barang milik saya sendiri. ‘Ini titipan Mbah Jogo, katanya milik sampeyan.’ ‘Beliau dimana?’ tanya saya buru-buru. ‘Mana saya tahu?’ jawabnya, ‘Mbah Jogo datang dan pergi semaunya. Tak ada seorang pun yang tahu dari mana beliau datang dan kemana beliau pergi.’ Begitulah ceritanya. Dan Kiai Tawakkal alias Mbah Jogo yang telah berhasil merubah sikap saya itu tetap merupakan misteri.”
Gus Jakfar sudah mengakhiri ceritanya, tapi kami yang dari tadi mendengarkan, masih diam tercenung, sampai Gus Jakfar kembali menawarkan suguhannya. \
***
Rembang, Mei 2002
Cerpen Djenar Maesa Ayu
September 18, 2008, 9:49 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Gerhana Mata
Cerpen Djenar Maesa Ayu (dimuat di Kompas, 05/20/2007)
Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.
Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.
Mungkin?
Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.
Mungkin?
Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.***
Jakarta, 2 Oktober 2006 11:06 AM


Cerpen Pramoedya Ananta Toer
September 18, 2008, 1:53 pm
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Djakarta
Cerpen Pramoedya Ananta Toer
Almanak Seni 1957
Sekarang tiba gilirannja: dia djuga mau pergi ke Djakarta.
Aku takkan salahkan kau, mengapa kau ingin djadi wargakota Djakarta pula. Besok atau lusa keinginan dan tjita itu akan timbul djuga. Engkau di pedalaman terlampau banjak memandang ke Djakarta. Engkau bangunkan Djakarta dalam anganmu dengan segala kemegahan jang tak terdapat di tempatmu sendiri. Kau gandrung padanja. Kau kumpulkan tekat segumpil demi segumpil.
Ah, kawan, biarlah aku tjeritakan kau tentang Djakarta kita.
Tahun 1942 waktu untuk pertama kalinja aku indjak tanah ibukota ini, stasiun Gambir dikepung oleh del¬man. Kini delman ini telah hilang dari pemandangan kota —hanja tudjubelas tahun kemudian! Betjak jang menggantikannja. Kuda-kuda diungsikan ke pinggiran kota. Dan kemudian: manusia-manusia mendjadi kuda dan sopirnja sekali: begini tidak ada ongkos pem¬beli rumput! Inilah Djakarta. Demi uang manusia se¬dia djadi kuda. Tentu sadja kotamu punja betjak djuga tetapi sudah djadi adat daerah meniru kebobrokan ibu-kota.
Bukan salah manusia ini, kawan. Seperti engkau djuga, orang-orang ini mengumpulkan tekat segumpil demi segumpil¬ perawan-perawan sawah, ladang dan pegunungan, buruh-buruh tani, petani-petani sendiri jang bidang tanahnja telah didih di dalam perasaannja, warga-warga dusun jang dibuat porak poranda oleh gerombolan, peladjar-peladjar jang hendak meneruskan peladjaran, djuga engkau sendiri —dan dengan penuh kepertjajaan akan keindahan nasib baik di ibukota.
Kemudian bila mereka sampai di Djakarta kita ini, perawan-perawan pedalaman jang datang kemari sekedar tjari makan, dia dapat makan, lupa tjari makan, dia kepingin kesenangan, dan tiap malam berderet di¬ depan gedung tempat kerdjanja masing-masing. Pria tidak semudah itu mendapat pekerdjaan, dan achirnja mendjadi kuda. Beberapa bulan kemudian paha para pria ini mendjadi begitu penuh sesak dengan otot jang ter¬lampau banjak dipaksa kerdja. Tiap minggu mereka menelan telur ajam mentah. Dan djalan raja memberinja kemerdekaan penuh. Bila datang bahaja ia lepas betja berdjalan sendirian, dan ia melompat ke kaki lima. Djuga tanggung djawab delman hilang di tangan kuda-kuda ini. Beberapa tahun kemudian ia ‘ngedjengkang’ di balenja karena djantungnja mendjadi besar, desakan darahnja meninggi: ia invalid —puluhan! ratusan ribu! kembali ke kampung sebagai sampah. Bila ada kekajaan, adalah kekajaan membual tentang kepele¬siran. Tetapi untuk selama-lamanja ia telah mati, su¬dah lama mati. Djumlah kurban ini banjak daripada kurban revolusi bakalnja.
Djadi engkaupun ingin djadi warga Djakarta!
Djadi engkaupun ingin djadi sebagian kegalauan ini.
Dari rumah masing-masing orang bertekat mentjari uang di Djakarta. Djuga orang-orang daerah jang kaja mengandung maksud: ke Djakarta —hamburkan uang¬nja. Dan djuga badjingan-badjingan daerah: ke Dja¬karta —menangguk duit. Demi duit ini pula Djakarta bangun. Sebenarnja sedjak masuknja kompeni ke Dja¬karta, Djakarta hingga kini belum djuga merupakan kota, hanja kelompokan besar dusun. Hingga sekarang. Tidak ada tumbuh kebudajaan kota jang spesifik, semua dari daerah atau didatangkan dan diimport dari luar negeri: dansa, bioskop, pelesiran, minuman keras dan agama, berbagai matjam agama.
Aku lupa, bahwa kau datang hendak kemari untuk beladjar. Tetapi barangkali patut pula kau djadikan ke¬nangan, pusat beladjar daerah kita adalah Djakarta. Tetapi sungguh aku sesalkan, bahwa Djakarta kita bu¬kanlah pusat beladjar jang mampu menjebabkan para mahasiswa ini mendjadi perspektif kesardjanaan Indonesia di kemudian hari. Sisa-sisa intelektualisme karena gebukan balatentara Dai Nippon kini telah bangkit kembali dengan hebatnja. Titel akademi jang diperoleh tiap tahun beku dikantor-kantor, dan daerah¬mu tetap gersang menginginkan bimbingan. Dan bimbingan itu masih tergantung-gantung djauh di ang-kasa biru. Semua orang asing, dengan warna politiknja masing-masing, jang memberi kauremah-remah dari¬pada kekajaan kita terbaik jang diisapnja.
Aku tahu, engkau orang daerah, orang pedalaman memdewakan pemimpin-pemimpinmu, tetapi aku lebih dekat pada kenjataan ini. Aku tahu engkau berteriak¬-teriak tentang perekonomian nasional, tetapi basis ke¬hidupan jang didasarkan atas perdagangan eksport, bukan sadja typis negara agraria, djuga negara kolonial. Sepandjang sedjarah negara-negara petani mendjadi negeri djadjahan, dan tetap mendjadi negeri djadjahan.
Dan bukankah petani-petani daerahmu masih tetap hamba-hamba di djaman Madjapahit, Sriwidjaja atau Mataram? Siang kepunjaan radja, malam kepunjaan durdjana! Dan radja di djaman merdeka kita ini ada¬lah naik-turunnja harga hasil pertaniannja sendiri. Se¬dang durdjananja tetap djuga durdjana Madjapahit, Sriwidjaja dan Mataram jang dahulu: perampok, pen¬tjuri, gerombolan, pembunuh, pembegal.
Djadi beginilah, kawan. Djakarta merupakan impian orang daerah. Semua ingin ke Djakarta. Tapi Djakarta sendiri hanja kelompokan besar dusun, bahkan bahasa perhubungan jang masak tidak punja. Anak-anak men¬djadi terlampau tjepat masak, karena baji-baji, kanak¬-kanak dan orangtuanja digiring ke dalam ruangan¬-ruangan jang teramat sempit sehingga tiap waktu me¬reka bergaul begitu rapat. Masalah orangtua tak ada jang tabu lagi bagi kanak-kanak. Kewibawaan orangtua men¬djadi hilang, dan segi-segi jang baik daripada perhubungan antara orangtua dan anak dahulu, kini mendjadi tum¬pul. Agama telah mendjadi gaja kehidupan, bukan perbentengan rohani jang terachir. Aku tjeritai kau, kemarin anakku jang paling amat besar enam umurnja, bertjerita: Orang-orang ini dibuat Tuhan. Tapi apakah randjang ini dibuat olehNja djuga? Ia pandangi aku. Waktu kutanjakan kepadanja bagajmana warna Tuhan: hitam ataukah merah? Ia mendjawab Putih! Ia pilih warna jang tidak mengandung interpretasi, tidak di¬warnai oleh pretensi. Sebaliknja kehidupan Djakarta ini—dan barangkali patut benar ini kau ketahui: penuh-sesak dengan interpretasi dan pretensi ini. Di¬ segala lapangan! Lebih mendjengkelkan daripada itu: tiap-tiap orang mau mendesakkan kepunjaannja masing-¬masing kepada orang lain, kepada lingkungannja. Sungguh-sungguh tiada tertanggungkan. Barangkali kau pernah peladjari sedjarah kemerdekaan berpikir. Bila demikian halnja kau akan dikutuki tjelaka.
Tetapi djangan kaukira, bahwa kegalauan ini ber¬arti mutlak. Barangkali adanja kegalauan ini hanjalah suatu salahharap daripadaku sebagai perseorangan. Aku seorang pengarang, dan pengarang di masa kita ini, terutama di ibukota kita, adalah sematjam kerbau jang salah mendarat di tanah tandus. Setidak-tidaknja kega¬lauan ini memberi rahmat djuga bagi golongan-golongan terten¬tu, terutama bagi para pedagang nasional, jakni jang berdjualbelikan kenasionalan tanah-airnja dan dirinja. Mungkin engkau tidak setudju. Tetapi barangkali lebih baik demikian. Sungguh lebih menjenangkan bagimu bila masih punja pegangan pada kepertjajaan akan kebaikan segala jang dimiliki oleh tanah-airmu dalam segala segi dan variasinja. Kami golongan pengarang, biasanja tiada lain daripada tenaga penentang, golongan opposisi jang tidak resmi. Resmi: pengarang. Tidak resmi: opposisi periuk terbaik! Dengan sendi¬dirinja sadja begitu, karena kami bitjara dengan selu¬ruh ada kami, kami hanja punja satu moral. Itu pula sebabnja, bila kami tewas, tewas setjara keseluruhan. Bukannja tewas di moral jang pertama, tetapi mendjadi tambun di moral jang keempat! mendjadi melengkung di moral jang ketiga!
Aku kira terlampau djauh lantaranku ini. Padamu aku mau bitjara tentang Djakarta kita.
Sekali waktu di suatu peristiwa, Omar pernah bitjara dengan sombongnja: Bakar semua chazanah, karena segalanja telah termaktub di dalam Qur’an! Permun¬tjulan jang grandiues tapi tak punja kontour-kontour kenjataan ini adalah gambaran kedjiwaan Djakarta: rentjana-rentjana besar, galangan-galangan terbesar di Asia Tenggara, tugu terbesar di Asia, kemerosotan mo¬ral terbesar! segala terbesar. Tapi tak ada sekrup, tak mur, tak ada ada drat, tak ada nipple, tak ada naaf, tak ada inden dan ring pada permesinan semua ini.
Sekali waktu disuatu peritiwa, Pascal mentjatat di¬ dalam bukunja: Manusia hanja sebatang rumput, teta¬pi rumput jang berakal budi. Dan rumput ini adalah golongan jang mempunjai kesadaran tanpa kekuasaan, terindjak dan termakan. Jang lahir, kering dan mati dengan diam-diam. Namun mendjadi permulaan dari pada kehidupan, seperti jang disaksikan oleh Schweit¬zer, serta risalah Kan Ying Pien.
Berbagai matjam angkatan tjampur-baur mendjadi satu, seperti sambal jang menerbitkan satu rasa, tetapi dengan teropong masih djelas nampak perpisahan an¬tara bagian satu dengan jang lain. Namun pentypean sematjam jang tegakkan oleh Remarque tidak memper¬lihatkan diri.
Barangkali engkau keberatan dengan kata-kataku itu. Tetapi memang demikian. Tjobalah ikuti tulisan-tulisan angkatan demi angkatan. Angkatan jang muda mentja¬tji jang tua, jang muda ditjatji oleh jang lebih muda. Tetapi, kata Ramadhan KH jang pernah aku dengar, angkatan muda ini bila diberi kesempatan, dia kehilangan segala proporsi dan lemih mendjadi badut lagi. Artinja badut di lingkungan badut. Tokoh-tokoh pemi¬kiran mengetengahkan Wulan Purnomosidhi dan Ada¬ tidaknja Tuhan, di dalam kekatjauan sosiologis, ekono¬mis dan politis, kultural dan intertual! Apakah kita mesti ikut pukul kaleng untuk membuat segala ini men¬djadi bertambah ramai? Sedang anak-anak murid ini telah demikian goiat dengan membanggakan pengeta¬huannja tentang para tjabul dan ‘rakjat ketjil’ plus sa¬duran Toto Sudarto Bahtiar Tjabul Terhormat karang¬an Sartre? Plus Margaretta Gouthier saduran Hamka dari Alexander Dumas Jr. Hamka? ja Hamka.
Achirnja, seperti kata A.S. Dharta, orang-orang da¬tang dan berkumpul ke Djakarta, mendjadi warga Dja¬karta, untuk mempertjepatkan keruntuhan kelompokan besar dusun ini. Tambah banjak jang datang tambah tjepat lagi.
Selagi aku belum djadi penduduk Djakarta, dambaanku mungkin seperti kau punja. Impian jang indah, bajangan pada pembangunan hari depan. Diri masih pe¬nuh diperlengkapi kekuatan, kemampuan dan kepertja¬jaan diri. Barangkali bagimu segala itu lebih keras lagi. Karena di daerah bertiup angin: orang takkan djadi warganegara jang 100% sebelum melihat Djakarta de¬ngan mata kepala sendiri.
Barangkali engkau akan bertanja kepadaku, mengapa tak djuga menjingkirkan diri dari Djakarta! Ah, kau. Golongan kami adalah sematjam kerbau jang mendarat di tanah tandus. Golongan kami reaksioner di lapangan penghidupan. Sekalipun tandusnja penghidupan golong¬an kami, djustru Djakartalah jang bisa memberi, seka¬lipun hanja remah-remah para pedagang nasional, atau petani pasar minggu. Tambah lama nasi jang sepiring harus dibagi dengan empat-lima anak-anaknja. Dan anak-anak ini akan mengalami masa kehilangan masa kanak-kanak, masa kanak-kanaknja sendiri. Kanak-kanak Djakarta jang tak punja lapangan bergerak, tak punja lapangan bermain, tak punja daerah perkem¬bangan kedjiwaan, menjurus dari gang dan got, membunuh tiap marga-satwa jang tertangkap oleh matanja. Katak dan ketam dan belut dan burung mengalami lik¬widasi, di Djakarta! Tetapi njamuk meradjalela, dan tjitjak dan sampah. Djuga mereka ini hidup di alam ketaksenangan. Taman-taman hanja di daerah Menteng dan perkampungan baru. Engkau tahu, djadi orang apa ka¬nak-kanak sematjam ini djadinja di kemudian hari.
Engku tahu, ada pernah dibisikkan kepadaku: da¬erah jang punja taman adalah lahir dan berkembang karena telah menghisap darah daerah jang tak punja taman. Tentu sadja bisikan ini konsekwensi daripada prinsip perdjuangan kelas. Barangkali engkau tak setu¬dju, karena ini membawa-bawa politik atau pergeseran kemasjarakatan jang berwarna politik atau politik ekonomi. Mungkin djuga hanja suatu kedengkian jang tak sehat. Tapi apakah jang dapat kauharapkan dari suatu masjarakat dimana sebahagian besar warganja hidup dalam suasana tak senang, tak ada pegangan, tak ada kepertjajaan pada haridepan! Sedang para pedagang nasional djuga tak punja haridepan, karena kemanisan jang diperolehnja harikini diisapnja habis harikini pula, untuk dirinja sendiri tentu, atas nama kenaikan harga tentu, sehingga mereka mendjadi para turis di daerah kehidupannja sendiri.
Segala jang buruk berkembang-biak dengan mantiknja di Djakarta ini. Segi-segi kehidupan amatlah runtjing¬nja dan melukai orang jang tersinggung olehnja. Tetapi wargakota jang sebelum proklamasi bersikap apatis ¬— apatisnja seorang hamba — kini kulihat apatisnja orang merdeka dengan djiwa hambanja. Bukan penghinaan, sekalipun suatu peringatan itu kadang-kadang terasa
sebagai penghinaan. Di dalam kehidupan jang tidak menjenangkan apakah jang tak terasa sebagai penghi¬naan! Dan tiap titik jang menjenangkan dianggap pudjian, atau setidak-tidaknja setjara subjektif: penga¬kuan dari pihak luaran akan kesamaan martabat dengan orang atau bangsa jang memang telah merdeka dan tahu mempergunakan kemerdekaannja. Barangkali engkau menghendaki ketegasan utjapan ini. Baiklah aku tegaskan kepadamu: memang wargakota belum lagi 25% bertindak sebagai bangsa merdeka. Anarki ketjil¬-ketjilan, sebagaimana mereka dahulu dilahirkan dalam lingkungan jang serba ketjil-ketjil pula: buang sam¬pah digot! bandjir tiap hudjan akibatnja; pendudukan tanah orang lain jang disadari benar bukan tanahnja sendiri menurut segala hukum jang ada, sekalipun sah menurut hukum jang dikarang-karangnja sendiri: ketimpangan hak tanah adalah ketimpangan penghidupan, kehidupan dan kesedjahteraan sosial. Mengapa? Kare¬na besok atau lusa tiap orang dapat didorong keluar dari rumah dan pekarangannja sendiri-sendiri. Kedjo¬rokan dan kelalaian jang dengan langsung menudju ke pelanggaran ketertiban bersama. Dan djalan-djalan raja serta segala matjam djalanan umum mendjadi me¬dan permainan Djibril mentjari mangsa. Djuga ini akibat hati orang tidak senang. Bawah sadarnja bilang: dia tak dilindungi hukum — dia, baik jang melanggar maupun jang dilanggar.
Nah demikianlah Djakarta kita, sekian tahun setelah merdeka.
Barangkali engkau mengagumi kaum tjerdik-pandai jang sering diagungkan namanja disurat-suratkabar. Hanja sedikit di antara mereka itu jang benar-benar bekerdja produktif-kreatif. Jang lain-lain terpaksa mem¬populerkan diri agar tak tumbang dimedan penghidup¬an! Apakah jang telah ditemukan oleh universitas Indonesia selama ini jang punja prestasi interna-sional! Di lapangan kepolitikan, apakah pantjasila telah melahirkan suatu kenjataan di mana engkau sadar di hatiketjilmu bahwa kau sudah harus merasa berterimakasih. Aku pernah menghitung, dan dalam sehari pada suatu hari jang tak terpilih, diutjapkan limabelas kali kata pantjasila itu baik melalui pers, radio, atau mulut orang. Sedjalan dengan tradisi pendjadjahan jang selalu dideritakan oleh rakjat kita, maka nampak pula garis-garis jang tegas dalam masa pendjadjahan priaji¬-pedagang ini: orang membangun dari atas. Tanpa pondamen. Ah, kawan, kita mengulangi sedjarah ke¬gagalan revolusi Perantjis.
Barangkali kau menjesalkan pandanganku jang pessimistis.
Akupun mengerti keberatanmu. Asal sadja kau tidak lupa: sekian tahun merdeka ini belum lagi bitjara apa-apa bagi mereka jang tewas dalam babak pertama revolusi kita. Kalau Anatole France bitjara tentang iblis-iblis jang haus akan darah di masa pemerintahan pergulingan itu, aku bisa djuga bitjara tentang iblis-¬iblis jang haus akan kurban, akan kaum invalid peng¬hidupan dan kehidupan. Dan bila kurban-kurban dan kaum invalid penghidupan dan kehidupan ini merasa tak pernah dirugikan, itulah tanda jang tepat, bahwa iblis itu telah lakukan apa jang dinamai zakelijkheid dengan pintarnja. Dan bila iblis-iblis ini tetap apa jang biasa dinamai badjingan.
Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan zakelijkheid!
Ini bukanlah jang kita kehendaki dengan kehidupan kesardjanaan! kepriajian dan perdagangan!
Sardjana adalah kompas kita, ke mana kita harus pergi mentjari pegangan dalam lalulintas kebendaan di kekinian dan dimasa-masa mendatang. Sardjanamu, sardjanaku, wartawanmu, wartawanku, politisimu, politisiku, melihat adanja kesumbangan, dan: titik, stop. Djuga seperti turis di dalam gelanggang kehidup¬annja sendiri.
Barangkali, engkaupun akan menuduh mengapa aku tak berbuat lain daripada mereka. Tetapi akupun tahu, bahwa engkau tidak melupakan sjarat ini: ke¬kuasaan. Kekuasaan ini akan ditelan lahap-lahap oleh tiap orang, tetapi tidak tiap orang tahu tjaranja men¬dapatkan dan menelannja. Sematjam kutjingmu sen¬diri. Sekalipun sedjak lahir kauberi nasi tok, sekali waktu bila ditemukannja daging akan dilahapnja djuga. Djadi kau sekarang tahu segi-segi gelap dari ibukota kita ini. Segi-segi jang terang aku tak tahu samasekali, karena memang hal itu belum lagi diwahjukan kepada¬ku, baik melalui inderaku jang lima-limanja ataupun jang keenam. Tetapi aku nasihatkan kepadamu, dalam masa kita ini, djanganlah tiap hal kauanggap mengan-dung kebenaran 100%, dengan menaksir duapuluh prosen pun kau kadang-kadang dihembalang keketje¬waan. Djuga demikian halnja dengan uraianku ini.
Aku tahu, engkau seorang patriot dalam maksud dan djiwamu, karena engkau orang daerah jang djauh dari kegalauan kota besar, kumpulan besar dusun ini. Eng¬kau akan berdjasa bila bisa membendung tiap orang jang hendak melahirkan diri dari daerahnja hendak memadatkan Djakarta. Tinggallah di daerahmu. Buat¬lah usaha agar tempatmu mempunjai sekolah mene¬ngah atas sebanjak mungkin. Dan buatlah tiap sekolah menengah atas itu mendjadi bunga bangsamu dike¬mudianhari: djadi sumber kegiatan sosial, sumber ke¬sedaran politik setjara ilmu, sumber kegiatan pentjip¬taan dan latihan kerdja. Pernah aku beri tjeramah di kota kelahiranku dua tahun jang lalu: mobilisasilkan tiap murid ini untuk berbakti pada masjarakatnja, untuk beladjar berbakti, untuk membelokkannja daripada intelektualisme jang hanja mengetahui tanpa ketjakapan mempergunakan pengetahuannja. Apa ilmu pasti jang mereka terima itu bagi kehidupannja di kemudianhari bila tidak berguna ?
Djangan kausangka, aku hendak mendiktekan kema¬uanku sendiri. Aku kira aku telah tjukup tua untuk menjatakan semua ini kepadamu—engkau jang ku¬harapkan djadi pahlawan pembangun daerahmu. Djuga engkau ada merendahkan petani, karena engkau lahir dari golongan prijaji—pendjadjah petani sepandjang sedjarah pendjadjahan: Djepang, Belanda, Inggris, Mataram, Madjapahit, Sriwidjaja, Mataram dan kera¬djaan-keradjaan perompak ketjil jang tidak mempunjai tempat chusus di dalam sedjarah.
Kawan, sebenarnja revolusi kita harus melahirkan satu bangsa baru, bangsa jang nomogeen, bangsa jang bisa menjalurkan kekuasaan itu sehingga mendjadi tenaga pentjipta raksasa, dan bukan menjerbit-njerbit¬nja dan melahapnja sehingga habis sampai pada kita, pada rakjat jang ketjil ini. Dari dulu aku telah bilang kekuasaan dan kewibawaan kandas di tangan para petugas. Petugas jang benar-benar pada tempatnja hanja sedikit, dan suaranja biasa habis punah ditelan agitasi politik — sekalipun tiap orang tahu ini bukan masa agitasi lagi, kalau menjadari gentingnja situasi tanah¬airnja dalam lalulintas sedjarah dunia !
Kita mesti kerdja.
Tetapi apa jang mesti kita kerdjakan, bila mereka jang kerdja tak mendapat penghargaan dan hasil seba¬gaimana mesti ia terima ?
Aku kira takkan habis-habisnja ngomong tentang Djakarta kita, pusat pemerintahan nasional kita ini. Setidak-tidaknja aku amat berharap pada kau, orang daerah, orang pedalaman, bakar habis keinginan ke Djakarta untuk menambah djumlah tugu kegagalan revolusi kita. Bangunkan daerahmu sendiri. Apakah karena itu engkau djadi federalis, aku tak hiraukan lagi. Dulu sungguh mengagetkan hatiku mendengar bisikan orang pada telingaku: mana jang lebih penting, kemer¬dekaan ataukah persatuan? Dan kuanggap bisikan ini sebagai benih-benih federalisme. Aku tak hiraukan lagi apakah federalisme setjara sadar dianggap djuga se¬bagai kedjahatan atau tidak! Setidak-tidaknja aku tetap berharap kepadamu, bangunkan daerahmu sendiri. Tak ada gunanja kau melantjong ke ibukota untuk men¬tjontoh kefatalan di sini.
Kawan, sekianlah.
Djakarta, 17-XII-1955.
Cerpen Harris Effendi Thahar
September 18, 2008, 10:03 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Anak Panah
Cerpen Harris Effendi Thahar (Sumber: Kompas,  Edisi 08/13/2006)
Untuk yang kesekian kalinya Nyonya Rakusni menanyakan tentang kemajuan studi Agus di Bandung, putra Anisah, ketika Anisah menerima beberapa liter beras untuk jasa mencuci pakaian. Anisah yang kelihatan lebih tua dari usianya itu tampak begitu gelisah.
“Perasaan, sudah hampir tujuh tahun. Biasanya, empat atau lima tahunan harus sudah lulus. Putri saya si Mira saja yang baru tiga tahun, sudah mulai skripsi tuh,” tutur Nyonya Rakusni dengan lobang hidung mengembang.
Anisah hanya menunduk dan pamit segera. Suaminya yang sakit-sakitan sudah lama menanti kedatangannya membawa beras untuk makan siang yang sudah begitu terlambat. Hatinya gundah. Mendung di pelupuk matanya seperti hendak tumpah.
Sudah lebih setahun ia tak mampu lagi membeli pulsa untuk hand phone penyambung komunikasi dengan Agus di Bandung. Jangankan untuk beli pulsa, dapat mengirimkan uang bulanan saja untuk Agus ia sudah bersyukur. Belum lagi untuk memenuhi kebutuhan sekolah Gadis yang kini sudah duduk di Tsanawiyah. Tapi, ia juga menyesalkan Agus, mengapa ia tak mengirim surat sekadar mengabarkan bahwa uang kiriman ibunya sudah diterima melalui rekening bank?
“Barangkali ia sudah jadi bandit. Tidak usah kau kirim-kirim juga uang. Anak apa itu? Durhaka!” begitu kalau suaminya berkata kalau Anisah mengeluh tentang kekurangan uang untuk dikirim ke Agus.
“Janganlah Uda berkata begitu. Ia darah daging kita. Siapa tahu kelak nasibnya baik. Setidaknya, dia bisa hidup mandiri, tidak miskin seperti kita.”
Sekitar enam tahun lalu kebahagiaan Anisah sekeluarga seperti berada di puncak. Putra sulungnya Agus Budiman lulus ujian masuk perguruan tinggi negeri terkemuka di Bandung. Tak satu pun waktu itu tamatan SMA di kampung itu yang lulus UMPTN, kecuali Agus Budiman, putra Anisah, penjual lontong pecal di pinggir pagar sekolahan Tsanawiyah. Ayahnya hanyalah seorang satpam pabrik kecap di dekat pasar kecamatan yang sering kambuh penyakit asmanya. Orang-orang memuji Anisah. Banyak orang kaya di kampung itu ingin membantu, terutama yang punya anak perempuan sejodohan Agus.
Tak ada hari libur bagi Anisah, hari Minggu pun ia bekerja sebagai tukang cuci di beberapa rumah. Ia perlu banyak uang untuk biaya sekolah putra kebanggaannya itu. Ia tak dapat mengharap banyak pada suaminya yang tiap sebentar harus berobat ke puskesmas. Sudah divonis dokter sebagai penderita asma akut, toh suaminya itu tidak mau berhenti merokok. Berapalah gaji satpam yang sering mangkir seperti dia? Untuk uang jajan sekolah Gadis, adik Agus saja, suaminya tak mampu.
“Tak usah kau pikirkan berapa ongkos berangkat si Agus ke Bandung itu. Aku yang nanggung, tanda ikut gembira dan bersyukur. Dia kebanggaan kampung itu. Satu-satunya pemuda kampung ini yang bisa masuk ITB,” kata Nyonya Rakusni ketika Minggu itu Anisah mencuci di rumah itu.
“Terima kasih, Nyonya. Nanti saya usahakan mengembalikan uang Nyonya.”
“Oo, tidak begitu. Itu gratis. Cuma, biaya bulanan, kau pikirkanlah sendiri. Ya?
Ngerti ndak?”
“Iya, ya. Terima kasih banyak Nyonya. Nyonya baik sekali.”
Kampung yang terletak di dataran tinggi subur itu dilatari oleh sawah-sawah luas yang menghasilkan panen melimpah sepanjang tahun. Akan tetapi, peninggalan orangtua Anisah tidaklah seberapa. Itu pun disewakan saja pada petani kacang tiap tahun karena suaminya tak sanggup mengolah sawah. Nyonya Rakusni adalah pemilik sawah terluas di kampung itu. Orang-orang memanggilnya Rangkayo, suatu panggilan kehormatan bagi orang yang dermawan. Meski sebenarnya ia bukanlah dermawan dalam arti yang sesungguhnya, melainkan seorang rentenir. Sudah tiga orang putrinya menikah, semuanya dijodohkan dengan pedagang. Tapi, untuk si bontot Mira, ia ingin bermenantukan orang sekolahan semisal Agus Budiman.
Tahun-tahun pun berlalu mengikuti musim. Jejak Agus pun diikuti oleh pemuda-pemuda lulusan SMA di kampung itu, yakni bersekolah di tanah Jawa, terutama di Bandung, meskipun bukan di perguruan tinggi negeri. Di musim libur, mereka pulang ke kampung membawa cerita-cerita dan angin perubahan dari tanah seberang. Kecuali Agus, ia tak pernah pulang libur karena menghemat ongkos.
Dari para mahasiswa pulang kampung itulah Anisah tahu bahwa Agus di Bandung begitu sibuk dan menjadi orang penting.
“Susah ketemu dia. Dia itu sibuk. Kadang-kadang diskusi, panitia seminar, latihan drama, baca puisi, bahkan kadang-kadang jadi koordinator demo,” kata seseorang.
“Kadang-kadang ia juga ke luar kota, ke Jogja, Solo, begitu,” kata yang lain.
“Baru-baru ini ia ikut sarasehan para penyair muda di pedalaman Solo,” kata yang lain lagi. “Khabarnya dia dekat dengan penyair Apridjal Malano.”
Anisah bingung mendengarkan penjelasan anak-anak muda itu. Ia tidak habis pikir, mengapa mahasiswa begitu banyak kegiatannya?
“Apa itu penyair? Tukang ramal gunung meletus?”
“Bukan Bu. Itu Mbah Bromo. Penyair itu pujangga yang menulis puisi.”
“Apa dia dapat gaji?”
“Maksud Ibu?”
“Ya, kalau dia sibuk apa tadi? Diskusi, seminar, membuat sair-sair? Itu ada imbalan uangnya?”
“Tergantung.”
“Tergantung di mana?”
“Maksud saya, pandai-pandai Bang Agus. Kalau dia pandai-pandai, tentu ia dapat uang.”
“Tapi, Ibu selalu kirim dia uang tiap bulan,” seperti berkata pada dirinya sendiri sambil merenungkan betapa capainya ia bekerja mengumpulkan uang sedikit-sedikit. Ternyata, Agus harus mencari uang tambahan lagi… Itu berarti uang kirimannya tiap bulan tidak mencukupi biaya kuliah Agus. Ia menyalahkan dirinya. Tiba-tiba ia seakan mendapatkan inspirasi untuk bertanya sesuatu yang lebih penting.
“Kapan Agus tamat kuliah dan jadi insinyur?”
Anak-anak muda itu berpandangan satu sama lain sambil mengangkat bahu. Salah seorang berinisiatif untuk meredakan kegundahan Anisah. Dengan senyum mengambang ia pun berkata.
“Bu, sebaiknya ibu datang ke Bandung. Kalau Ibu tidak cukup uang beli tiket pesawat, bisa naik bus Lintas Sumatra. Cuma dua malam, kok. Jadi, Ibu bisa lihat kesibukannya. Sekalian melepas rindu.”
“Tapi saya tidak tahu alamatnya. Saya belum pernah ke Jawa.”
“Gampang. Nanti kita pergi sama-sama. Dua minggu lagi.”
Melalui gang-gang berliku, Anisah sampai di kamar kos putranya Agus Budiman di bilangan perkampungan padat dekat kampus sebuah perguruan tinggi di Bandung. Ia diantar pagi itu setelah lelah dihempas dan dibanting-banting goncangan bus di jalanan buruk Lintas Sumatra dua hari dua malam oleh salah seorang mahasiswa yang bersedia memandunya di perjalanan. Kamar Agus terkunci. Tak ada tanda-tanda kehidupan di kamar itu. Dengan pertolongan pemilik rumah kos, Anisah berhasil masuk ke kamar pengap berukuran dua kali tiga meter itu.
Perempuan ringkih itu ingin berbaring, melepas lelah dipukul rindunya yang terpendam. Akan tetapi kamar itu mirip gudang yang sudah lama ditinggal pemiliknya. Semuanya berantakan dan penuh debu. Tumpukan buku, kertas-kertas coretan, bungkus rokok, koran di segala sudut, kasur lecet yang terlipat, gelas-gelas bekas kopi, sendal butut, dan setumpuk pakaian kotor. Poster-poster terkelupas di dinding yang lembab dirangkai jelaga dan jaring laba-laba yang sesekali bergerak lemah ditiup angin dari lubang udara. Di balik pintu, bergelantungan celana jin robek dan jaket bau keringat petualang.
Tanpa sempat mengusik kecentangperenangan itu, Anisah terduduk di samping lipatan kasur tanpa alas, merenungkan wajah putra kebanggaannya itu. Dari doanya yang paling dalam, ia berharap Agus tiba-tiba muncul. Diyakin-yakinkannya hatinya, karena tadi salah seorang mahasiswa tetangga kamar kos Agus berjanji mencoba menghubungi Agus lewat sms. Tiba-tiba pintu kamar itu diketuk dari luar.
“Bu, maaf Bu. HP Mas Agus agaknya tidak aktif. Saya sudah beberapa kali mengontaknya. Tapi, Ibu jangan khawatir, kadang-kadang larut malam, ia muncul tiba-tiba. Kalau Ibu perlu apa-apa, ketuk saja kamar saya di sebelah,” mahasiswa baik hati itu berkata.
Anisah tertidur dalam posisi meringkuk. Ia terlalu lelah setelah menempuh perjalanan yang sangat jauh, yang belum pernah dialaminya seumur hidup. Ia bermimpi Agus datang. Agus langsung bersimpuh mencium kakinya. Lalu bercerita tentang gadis Sunda yang cantik calon istrinya. Tapi, wajah Nyonya Rakusni segera muncul dalam mimpinya dengan setumpuk kalimat yang menyengat.
“Kalau Agus sudah tamat insinyur dan mau menikah dengan Mira, ongkos perjalananmu ini gratis. Tapi kalau tidak, cukup kau bayar dengan cicilan. Jangan lupa, bunganya sepuluh persen.”
Anisah terbangun ketika tiga orang mahasiswa, teman-teman sekosan Agus datang mengetuk pintunya. Senja turun di Bandung dengan suhu menggigilkan Anisah yang mulai merasa tua. Anak-anak kos yang baik itu bermurah hati membersihkan kamar Agus dan membawakan makanan. Mereka menghibur Anisah dengan keramahan orang-orang terpelajar.
“Kalau Mas Agus belum datang juga, Ibu jangan khawatir. Anggaplah kami anak-anak Ibu sendiri,” kata salah seorang.
“Mas Agus itu senior kami di sini. Ia orang baik. Sekarang ia sudah jadi penyair. Kalau tidak salah, ia pernah bilang mau ke Bali.”
“Ke Bali? Di mana itu? Apa dia punya ongkos?”
“Malah ada yang bilang, Mas Agus diundang ke Rotterdam baca puisi,” kata yang lain.
“Ibu jangan khawatir, dia punya banyak teman.”
“Apa jadi penyair itu berarti dia sudah bekerja? Apa dia sudah insinyur?”
“Jadi penyair tidak perlu insinyur dulu, Bu. Penyair itu profesi. Ya, pekerjaan juga.”
“Tolong antarkan Ibu ke kantor penyair, mau ya? Ibu perlu ketemu dia. Ibu tidak mungkin lama-lama di sini. Ayahnya Agus sakit-sakitan. Sebentar-sebentar, kambuh asmanya.”
Tiga mahasiswa itu terdiam. Mulai mengerti dan paham.
Di malam yang ketujuh, cukup sudah jantung Anisah dirobek-robek rindu. Agus tak kunjung muncul. Ia ingin segera pulang esok harinya. Malam itu ia ingin menulis surat untuk ditinggalkan agar dibaca Agus kalau ia pulang ke sarangnya. Ia ingin menulis panjang-panjang, tentang banyak hal, termasuk tentang Mira gadis bungsu Nyonya Rakusni yang menunggunya. Akan tetapi ia tak sanggup menuliskan semuanya, kecuali:
“Ibu rindu sekali ketemu, Gus. Sayang kamu entah di mana. Jadilah anak yang saleh, Gus. Doakan ibu dan ayahmu selalu, ya. Sakit ayahmu parah.”
Perjalanan panjang menempuh medan berat Lintas Sumatra dihadangnya tanpa persiapan uang makan di jalan. Hanya kasihan oranglah yang membantunya. Anisah hanya banyak minum air di tempat-tempat perhentian yang akhirnya mengantarkan dirinya dengan selamat ke kampungnya, di kaki Gunung Talang. Akan tetapi, ia tidak menjumpai suaminya di rumah. Ayah Agus dirawat inap di rumah sakit kabupaten sepeninggal Anisah.
Hari kesepuluh Ayah Agus dirawat di rumah sakit kabupaten, terlihat semakin parah. Anisah dan Gadis tampaknya sudah pasrah. Saat itulah surat Agus datang. Isinya pendek saja dan tak sepenuhnya dimengerti oleh Gadis maupun ibunya Anisah.
“Bacakan surat itu, Dis. Apa kata anak durhaka itu?” ujar ayahnya tersendat-sendat.
Gadis memandang ibunya, seakan minta persetujuan. Anisah mengangguk. Gadis pun membacanya dengan gaya seorang deklamator.
“Anakmu bukanlah anakmu, ia hanya busur panah mesti kau lepaskan. Aku sudah lama bukan kanak lagi. “
Ayahnya terdiam. Anisah bungkam dan air matanya menghujan. Gadis membaca doa dengan hati teriris. Ayah Agus sudah pergi tanpa pesan apa-apa, seperti tidak terjadi apa-apa, setelah jiwanya melesat bagai anak panah yang lepas dari busurnya.
***
Cerpen Hardo Sukoyo
September 18, 2008, 3:01 pm
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Empat Puluh Tahun Kemudian
Cerpen: Hardo Sukoyo (Sumber: Suara Karya, Edisi 09/03/2006)
Pertemuan eks siswa-siswi sebuah Sekolah Menengah Atas Kejuruan di Semarang, Jawa Tengah yang berlangsung di sebuah perumahan di bilangan Semarang barat itu, diliputi keceriaan dan penuh canda, walaupun yang hadir semuanya sudah tergolong tidak muda lagi.
Betapa hubungan antarmereka yang hadir terkesan saling menyayangi, bagaikan keluarga besar. Cerita-cerita seputar nostalgia di SMA milik mereka masing-masing yang hadir, untuk kesempatan kali ini, silih berganti diketengahkan, menambah meriah pertemuan rutin dua bulanan itu.
Ada yang membangkitkan ingatan, bahwa dia dulu selalu berusaha mendekati siswa yang lumayan pandai di kelas, untuk sekadar mendapat kemudahan dalam menjawab soal-soal ketika ulangan. Karena dapat contekkan atau mendapat bisikan jawaban dari siswa yang diincarnya itu.
“Siapa ini hayo Ingat tidak? Tanya Farida, teman akrab Permadi di sekolah kejuruan itu, kepada Permadi, sambil menunjuk wanita yang sisa-sisa kecantikannya masih terlihat itu.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Permadi hanya mengerutkan kening dan mengangkat bahunya, sebagai tanda tidak bisa menebak siapa sebernarnya wanita yang dimaksut.
“Lupa ya. Ini kan Mbak Murwani. Teman kita sejak di SMEP dulu,” kata Farida, berusaha menjelaskan. “Oh maaf. Saya baru ingat sekarang. Mbak Mur yang tinggal di Jalan Dr Cipto itu tho. Yang dulu gemar mengenakan pakaian berwarna biru?” Cetus Permadi, memastikan.
“Wah ternyata ingatan mu boleh juga. Sampai urusan warna baju saja masih ingat sampai sekarang,” ucap Murwani, senang. Gelak tawa seketika memecah di ruangan itu, begitu mendengar ucapan Murwani.
“Kalau ini dan itu siapa?” Tanya Purwanti, sahabat Permadi yang lain, lebih seru. Bisa juga hal itu untuk menguji daya ingat Permadi akan teman-teman lamanya. Gagap juga Permadi dibuatnya. Karena memang ia sama sekali lupa, siapa saja wanita-wanita yang berada di depannya itu.
Suasana pertemuan tersebut berubah menjadi hening, ketika Permadi yang untuk pertama kalinya hadir dalam pertemuan persaudaraan itu, mendapat kesempatan berbagi pengalaman, bercerita tentang perjalanan hidup Permadi selama ini dan tentang masa lalunya, terutama tentang hubungannya dengan Ratih, “sang gadis idaman”, yang adik kelasnya itu, di hadapan teman-teman seangkatannya.
“Anggap saja ini sebuah penjelasan, klarifikasi saya, atas berita burung yang beredar selama ini yang cenderung menganggap saya adalah laki-laki pembohong, tidak memiliki perasaan, pengkhianat, berkelakuan nol atau entah apa lagi sebutannya, karena saya tingggalkan Ratih begitu saja, dalam kesedihan yang berkepanjangan, setelah saya ke Jakarta,” tutur Permadi, dengan suara bergetar. “Begitulah yang saya dengar selama ini,” kata Farida, menukas penuturan panjang Permadi.
“Salah siapa, karena yang saya dengar selama ini hanya kelakuanmu yang negatif itu. Kamu pun sepertinya membenarkan prasangka buruk banyak orang atas apa yang kamu perbuat terhadap Ratih. Sejak kepergianmu meninggalkan Semarang, apa kamu memberi kabar kepada kita-kita ini. Ayo, jawab. Salah siapa kalau begitu jadinya?” ujar Purwanti, tidak kalah sengitnya dengan Farida.
Walaupun dalam suasana penuh canda, sepertinya dalam pertemuan melepas rindu itu, Permadi menghadapi “pengadilan moral” di hadapan sahabat-sahabatnya yang telah lama tidak jumpa, bahkan tidak saling memberi kabar. Selama ini Permadi sepertinya menghilang, ditelan bumi.
Teman-teman Permadi lainnya, Purnomo, Farid, Ahmadun, Shodig, Susantio, Usman, Slamet, Suyanto, Mardiono, Abdulkadir, Prayitno, Darmadi, Rifai, Sumiyatun, Murwani, Sri Wahyuni, Sugiarti, Sukarti, Ani dan Kun Sri Haryanti diam membisu. Mereka serius mendengarkan silang pendapat di antara Permadi, Farida, dan Purwanti.
“Mohon maaf sebelumnya kawan, saya pastikan bahwa saya tidak meninggalkan dia. Justru Ratih yang tanpa alasan apa pun memutuskan hubungan itu, ketika saya sedang berjuang meraih masa depan di Jakarta,” kata Permadi, dengan nada suara meninggi. Hening sejenak. Permadi menarik nafas dalam-dalam dan kemudian dihembuskannya lewat mulutnya pelan-pelan. Diraihnya gelas plastik yang tersedia di depan tempat ia duduk. Sekali sedot, air mineral isi gelas itu kandas dibuatnya. Sepertinya Permadi ingin menghilangkan sesuatu yang membebani hidupnya selama ini. Kemudian ia berbicara kembali.
“Sejak saat itu saya benci Semarang. Saya kubur dalam-dalam semua kenangan manis yang pernah saya peroleh di kota ini,” ujar Permadi, lirih.
Permadi dan Ratih oleh teman-teman mereka ketika itu dianggap sebagai pasangan ideal di sekolah kejuruan tersebut. Mereka adalah dua sejoli yang tidak saja aktif dalam kepengurusan organisasi siswa sekolah, tetapi mereka berdua juga sama-sama aktif sebagai pengasuh majalah dinding, tim bola basket serta anggota grup drum band di sekolah itu.
Tidak hanya itu. Secara fisik keduanya memiliki bentuk tubuh yang serasi. Sama-sama bertubuh tinggi, tegap, padat berisi.
Bukan hanya di lingkungan sekolah, dalam pergaulan yang lebih luas pun, sudah bukan rahasia lagi bahwa Permadi dan Ratih adalah dua remaja yang saling menyayangi. Seperti amplop dan perangko, begitu Permadi dan Ratih diibaratkan oleh teman-teman dekatnya, karena begitu lengketnya hubungan mereka berdua. Sepertinya di mata Permadi di dunia ini tidak ada wanita lain kecuali Ratih, demikian juga sebaliknya Ratih terhadap Permadi.
* * *
Dalam suasana ceria dan penuh canda itu, emosi Permadi tersedot ke masa lalu, yang sepertinya baru saja terjadi. Berbagai kilas balik muncul silih berganti dan tergambar jelas dalam ingatannya, saat-saat yang membahagiakan yang dilalui Permadi bersama Ratih.
Pohon bunga Tanjung yang tumbuh di depan kantin sekolah menjadi saksi bisu kebersamaan mereka berdua. Selalu, sehabis berlatih bola basket, Permadi dan Ratih duduk di bawah rindangnya pohon yang menyebarkan aroma wangi itu, sambil menikmati segarnya es sirop. Setelah itu mereka naik sepeda berboncengan. Permadi lebih dahulu menghantar pulang Ratih yang tinggal di bilangan Perbalan, sebelum ia pulang di daerah Bandarharjo
Pengembaraan ingatan Permadi, membawa ke saat Permadi pingsan karena cuaca panas ketika latihan drum band, dalam persiapan study tour sekolah ke luar kota, bertandang ke sebuah sekolah kejuruan di Yogyakarta. Begitu sadar, Permadi merasakan betapa waswasnya Ratih terhadap kondisi Permadi ketika itu. Layu, tanpa daya, karena kelelahan fisik. Dan kedua mata Ratih yang bulat itu terlihat sembab, sehabis menangis.
Permadi juga ingat, di suatu sore ia harus sibuk mencari keberadaan Cemeng, kucing piaraan Ratih yang raip sejak siang hari, di sekitar tempat tinggal Ratih. Kalau binatang kesayangan itu tidak diketemukan saat itu juga, dapat dipastikan “tidak ada selera makan” Ratih akan menjadi-jadi. Kemanjaan-kemanjaan kecil seperti itu sering dilakukan Ratih terhadap Permadi. Dan Permadi pun tahu, bahwa hal itu merupakan bentuk sebuah ujian kesabaran dan kesetiaan yang dilakukan Ratih terhadap Permadi.
Masa-masa merajut kasih memang sangat membahagiakan. Apalagi bila kondisi tersebut sangat didukung oleh berbagai faktor. Sepertinya hubungan Permadi dengan Ratih berjalan mulus, tidak ada hambatan yang berarti. Apalagi kedua orang tua mereka sama-sama memberi restu. Dengan catatan, setidaknya Permadi dan Ratih harus mengantongi ijazah sarjana muda, atau D3 terlebih dulu. Syukur-syukur mereka mampu menyelesaikan sarjana strata satu.
“Dik Ratih, walaupun kita selalu bersama-sama dan kedua orang tua kita memberi restu, dalam kesempatan ini Mas mu minta agar dik Ratih mau menjadi pendamping Mas mu ini untuk selama-lamanya, dan kelak menjadi ibu dari anak-anak kita,” kata Permadi tegas dan lancar, ketika berada di dalam becak. Malam itu. mereka dalam perjalanan pulang dari menghadiri resepsi perkawinan seorang kerabat dekat Ratih.
Plong. Rasa sesak di dada Permadi mencair, setelah ia menyampaikan “lamaran” kepada Ratih, gadis dambaannya itu.
Mendengar ungkapan perasaan hati Permadi seperti itu, Ratih hanya mampu memandang Permadi dengan mata yang berbinar-binar. Bibir Ratih bergetar, kemudian berucap, mengiyakan permintaan Permadi. “Ya mas,” ucap Ratih, lirih, menjawab “lamaran” Permadi.
“Terima kasih dik,” kata Permadi singkat, sambil menggegam tangan kanan Ratih erat-erat, dengan kedua tangannya. Permadi pun mencium kening Ratih yang memiliki potongan rambut berponi itu.
Kilat di langit yang berpijar-pijar beberapa kali di tengah hujan yang menyiram kota Semarang ketika itu, sepertinya menjadi saksi atas ikrar kesetiaan kedua muda-mudi yang tengah merajut kasih itu.
Sebuah kotak tempat perhiasan dikeluarkan Permadi dari kantong jasnya. Bros perak bermotif Burung Merak hasil pengrajin perak Kotagede, Yogya, ia serahkan kepada Ratih.
“Aku tidak tahu, ini untuk apa. Tetapi Mas mu ini sangat berharap agar benda ini Dik Ratih simpan,” kata Permadi, berharap.
“Ya mas,” jawab Ratih memberi kepastian. Digenggamnyalah benda bernilai kenang-kenangan dari Permadi itu erat-erat, seolah takut kehilangan.
* * *
Usai pertemuan dengan sahabat-sahabatnya, sore itu juga Permadi pulang ke Jakarta, naik kereta api dari setasiun Tawangsari.
Walaupun rangkaian kereta Argo Muria yang akan dinaiki Permadi telah berada di lintasan satu, Permadi lebih suka jalan-jalan di peron, sekadar melihat-lihat dan membuang waktu tunggu.
Setasiun kereta api Tawangsari, Semarang, sepertinya tidak mengalami perubahan yang berarti, setelah sekian puluh tahun tidak dikunjungi Permadi. Di mata Permadi, hanya lapangan bola yang berada di seberang jalan depan satasiun itu yang berubah fungsi. Lapangan tempat Permadi kecil main bola itu, kini telah menjadi “situ”, danau kecil, penampungan air.
Di peron lintasan satu, tidak jauh dari pintu masuk setasiun Tawangsari, terdapat sederet tempat duduk. Di tempat itu Permadi menghentikan langkahnya dan duduk sejenak. Ia teringat kembali akan sebuah peristiwa yang telah lama dikubur di relung hatinya dalam-dalam,
Ya, di tempat itu, di suatu hari, empat puluh tahun yang lalu ia duduk berdampingan dengan Ratih, menunggu keberangkatan kereta ekonomi yang akan membawa Permadi merantau ke Jakarta untuk menggapai harapan. Empat puluh tahun yang lalu di tempat itu, sebuah janji dan ungkapan kesetiaan diucapkan oleh dua anak manusia yang saling mencinta.
“Tidak lama lagi Mas mu harus ke Jakarta. Bukan untuk siapa-siapa, tetapi untuk masa depan kita. Akan ku kejar apa yang menjadi cita-citakan kita berdua, dan akan kita genggam kebahagiaan itu bersama-sama,” kata Permadi, suaranya bergetar, menahan haru.
Hanya menundukkan kepala serta menangis dan menangis yang dapat dilakukan Ratih saat itu. Air mata itu ada pula yang menetes, membasahi bros burung merak yang dikenakan Ratih di dada kirinya.
Pengumuman keberangkatan kereta api tepat pukul 16.00 WIB dari Setasiun Tawangsari menyadarkan Permadi dari lamunannya. Bergegas ia menaiki gerbong dan duduk di kereta lima. Kereta pun berangkat. Dari balik jendela ia pandangi deretan tempat duduk di peron itu, hingga hilang dari pandangannya.
Stasiun Poncol baru saja terlewati. Tiba-tiba Permadi teringat akan nomor telepon rumah Ratih yang diberikan Purwanti, siang tadi.
MenghubUngi tidak menghubungi tidak Menghubungi Tidak? Ya kalau diterima, kalau tidak, apa malahan tidak membuat luka hati ini semakin menganga? Sebaliknya kalau diterima, bagaimana? Namanya juga menyambung tali silaturahmi, menyambung tali persaudaraan yang lama terputus. Apa salahnya? Tetapi apakah nantinya tidak akan menimbulkan sesuatu yang bukan- bukan? Atau malahan menimbulkan perasaan cemburu pihak lain, barang kali? Berbagai perasaan itu berkecamuk dalam batin Permadi. Lama Permadi menimbang-nimbang baik buruk, bermanfaat atau tidaknya bila ia saat itu menghubungi Ratih.
Awak restorasi datang untuk menyerahkan “jatah” makan malam kepada Permadi, ketika kereta api itu baru saja meninggalkan stasiun Pekalongan.
“Selamat malam. Ya, saya sendiri. Siapa ini? Astaghfirullah alazhiim. Yang benar. Bagaimana kabarnya? Di mana ini?” Suara dari seberang sana terdengar begitu emosional. Ternyata dalam keragu-raguan itu Permadi lebih memilih menghubungi Ratih, lewat telepon genggamnya. Dari nada suara yang pernah sangat dikenali Permadi, suara tersebut ditengarai adalah milik Ratih.
Stasiun Tegal baru saja ditinggalkan kereta eksekutif itu. Banyak yang diperoleh Permadi dari pembicaraan dengan Ratih lewat telepon itu. Tanpa mengungkit-ungkit masa lalu, pembicaan tersebut memberi kesejukan pada suasana batin Permadi. Sepertinya ia terbebas dari beban batin yang terlalu lama dipikulnya. Dan Semarang bagi Permadi mulai saat itu diniatkan bukan lagi sebagai kota yang dijauhi.
Kereta api Argo Muria baru saja melewati stasiun Bekasi, sebentar lagi memasuki daerah Klender dan kemudian berhenti di Jatinegara. Tepat pukul 21.30 WIB, Permadi turun di stasiun itu.
Lagu lama, “Sepanjang Jalan Kenangan” karya Is Haryanto terdengar dari radio pada taksi yang ditumpangi Permadi, malam itu.
Sungguh tepat syair lagu itu bagi Permadi. Secara khusus bait akhir lagu yang dipopulerkan Teti Kadi tersebut kemudian dihayati Permadi sebagai pendorong untuk lebih memilih kekeluargaan, daripada berseteru tanpa ujung, akibat masa lalu. Masa lalu biarlah berlalu dan tersimpan menjadi kenangan tersendiri. Apalagi kini Ratih adalah nenek dari sembilan cucu dan Permadi adalah kakek dari empat cucu.
. . . Walau diriku kini t’lah berdua
Dirimu pun tiada berbeda.
Namun kenangan s’panjang jalan itu
Tak mungkin lepas dari ingatanku.***
Klender, Medio Agustus 2006


Cerpen Wilson Nadeak
September 18, 2008, 9:31 am
Filed under: Tidak terkategori
Serdadu Tua dan Jipnya
Cerpen Wilson Nadeak (Dimuat di Kompas, 04/29/2007)
Sudahlah! Kita hidup dengan gaji kita saja. Tidak perlu pikirkan macam-macam. Usia kepala tujuh bukanlah saat yang tepat untuk merawat mobil tua. Kuno lagi. Onderdil jip itu pun sukar dicari. Biarlah kami menikmati masa tua, Pak. Kulihat kau selalu risau dengan kendaraan itu. Sebentar-sebentar pergi ke tempat anak kita dan memintanya supaya memperbaikinya. Sayang anak kita menghabiskan waktu untuk memperbaiki mobil itu. Mobil adalah beban. Mengapa kau bebani anak kita untuk membuat jip itu dapat berjalan kembali? Bannya saja begitu besar, mahal lagi. Belum lagi keadaan mesinnya yang harus dibongkar pasang, dari awal. Mimpimu pun selalu tentang jip tua itu. Mengapa sih repot-repot dengan kendaraan yang tidak mungkin digunakan lagi? Tanpa surat dan tanpa nomor polisi. Semua serba membingungkan!
Itulah keluhan sang istri mantan Letnan Kolonel Banun. Ketika Banun membeli jip rongsokan buatan tahun empat puluhan itu dengan uang pensiunnya, sang istri amat gemas. Uang pensiun yang tidak seberapa itu harus dibelikan jip tua. “Kita makan dari mana, pak?”
“Rezeki itu selalu ada, Ma. Percayalah, Tuhan akan memberi makanan bagi kita.”
“Tuhan? Memberi makan dengan cara yang tidak bijaksana?” tanya istrinya yang sudah berusia kepala tujuh. “Memangnya Tuhan itu kasir? Suka-sukamu mengatur Dia?”
“Nanti akan kaulihat,” jawab sang suami.
“Kau yakin betul?”
“Mengapa tidak? Kukira Tuhan yang mengirim jip ini kepada kita.”
“Jawab doamu, yang merindukan sebuah kendaraan?”
“Ya.”
Istrinya geleng-geleng kepala sambil mengusap dadanya yang belakangan ini sering berdebar-debar entah karena apa. “Tetapi bukan mobil seperti ini yang kauminta kepada Tuhan, bukan? Bukankah mobil yang lengkap surat-suratnya, yang dapat digunakan ke mana-mana?”
“Ya, memangnya begitu. Tetapi Tuhan mengirim jip ini, dan kauterima. Bukan kehendak kita, bukan? Kehendak Tuhanlah yang jadi, Ma.”
Lagi-lagi sang istri mengurut dada dan kebetulan sang suami menengoknya.
“Jantungmu jangan sampai kumat gara-gara jip tua ini, Ma. Anggaplah ini hiburan pada masa tua kita. Lihat, itu, mobil Wilys milik anak kita itu. Sudah seratus lima puluh orang yang datang melihat dan menawarnya dengan harga yang tinggi.”
“Mengapa tidak dijual saja dan dipakai sebagai modal untuk berdagang?”
“Sampai sekarang anak kita masih bertahan dengan harga yang diinginkannya. Lagi pula, ia senang mengutak-atik Wilys tuanya itu. Terserah dialah.”
Mantan Letkol Banun yang selalu mengambil pensiun, tetapi tidak diberikan utuh kepada istrinya, alasannya, ada saja onderdil yang harus dibeli.
Mungkin ia tidak memerhatikan kesehatan istrinya yang kadang-kadang mendadak sakit karena merasa nyeri di bagian dada. Entah karena sesuatu, istrinya sering menampik apabila dibawa ke rumah sakit. “Nanti akan sembuh sendiri,” jawabnya kepada suaminya. Sebaliknya, kalau sang suami yang sakit, ia cepat sekali masuk ke rumah sakit militer. Setiap kali suster memberi obat, ia membacanya dengan teliti dan kemudian mengatakan kepada suster bahwa ia tidak mau memakan obat itu.
“Ini obat yang tidak cocok dengan penyakitku, buat apa? Nanti ada efek sampingan!” komentarnya. Suster tidak dapat berbuat apa-apa karena pasiennya malah menceritakan apa akibat kalau makan obat itu. Hanya obat yang murah dan sederhana yang ditelannya. “Perut saya bukan gudang obat dan bukan pula laboratorium percobaan,” katanya, yang membuat suster keluar dari ruangan tanpa kata-kata.
Kalau berminggu-minggu ia terbaring sakit di rumah sakit tentara, orang yang menjenguknya selalu terheran-heran karena ia penuh semangat bercerita tentang masa lalunya yang kaya dengan pengalaman derita. Dokter menasihatkan agar ia tidak terlalu banyak bercerita, tetapi ia tidak peduli. “Ah, saya yang lebih tahu mengenai penyakit saya,” katanya.
Sekalipun kadang-kadang ia pincang karena borok yang ada di kakinya, ia selalu tampak gembira. “Penyakit harus dilawan! Obat itu racun! Nanti luka ini akan sembuh sendiri.”
Barangkali itulah resep hidup yang diyakininya, yang membuatnya melewati ulang tahun pernikahan emas. Anak-anaknya kadang-kadang cemas juga melihat kondisinya kalau jatuh sakit, tetapi dia sendiri tetap optimis. Ia senang bercerita kepada cucu-cucu dan menantunya, mengenai masa lalu yang penuh dengan pergolakan hidup. Ia seorang penutur masa lampau yang menarik, pencerita yang baik dan detail. Ketika ia bercerita, menantu dan cucu-cucunya asyik mendengarkan. Istrinya yang kadang-kadang mengusiknya dengan berkata, “Sudahlah, Pak. Jangan cerita tentang masa lalu saja. Masa lalu dan masa lalu! Sudah bau tanah pula!”
Banun tidak marah. Ia memang kerap kali bertengkar, berbeda pendapat. Bahkan berhari-hari tidak saling menyapa, yang membuat anak-anaknya bertingkah serba salah. Ketika mereka berdamai, ia berkata, “Itulah orang tua. Tinggal menghitung hari-hari tua, dan menerima masa mendatang apa adanya.” Mendengar itu, anak-anak mengangguk dan cucunya dengan ringannya bersenandung, “Perdamaian, perdamaian….”
Sang istri mengalah soal jip tuanya. Kalau uang pensiun berkurang, ia bersikap diam. Tampaknya ia tahu bahwa suaminya sering menyurati anak-anak supaya membantu mereka tiap bulan karena uang pensiun tidak cukup untuk kondisi perekonomian sekarang ini. Tentu tanpa menyebut-nyebut jip tua itu. Dan sang istri kenyataannya sering menerima kiriman uang dari anak-anaknya yang sudah bekerja di kota pulau lain.
Sekali iparnya datang berkunjung ke rumahnya. Ia menunjukkan jip tua yang sedang diperbaiki secara total. Ia mengandalkan kemahiran anaknya memperbaiki kendaraan.
“Mengapa Ipar tertarik dengan jip tua ini?”
“Nah, ini pertanyaan yang kusukai. Selama ini istriku selalu ngomel karena aku membelinya. Macam-macam keluhan yang dikatakannya dari hari ke hari, sampai aku menjadi jemu. Dan ia pun berhenti sendiri mengomel. Karena Ipar menanyakan soal ?tertarik? maka aku akan menceritakannya. Begini.”
Mantan Letkol Banun bertutur.
Saat itu, sekitar tahun 1947 atau tahun 1948. Ya, persisnya aku tidak tahu. Yang jelas aku berusia kira-kira 17 tahun. Pasukan kami terperangkap di sebuah medan tempur, dekat danau. Kami yang menyergap iring-iringan pasukan Belanda di tikungan, kehabisan peluru. Sebagian lari ke gunung berhutan dan sebagian lagi ada yang tewas tergeletak tanpa ada yang mengangkutnya. Aku sendiri berusaha lari ke kaki bukit. Namun peluru berdesingan di atas kepala sehingga aku tiarap di tanah. Tahu-tahu, sebuah laras senapan sudah diarahkan ke kepalaku sambil terdengar teriakan, “Berdiri! Kalau tidak kutembak!”
Aku berdiri sambil menaruh kedua tangan di kepala bagian belakang. Aku digiring ke kendaraan militer yang ada di tikungan. Aku didorong masuk ke dalam truk militer. Sejam kemudian pasukan itu tiba di barak-barak militer yang tidak jauh dari tepi danau.
Aku segera dibawa ke tempat interogasi. Serang prajurit yang beringas, berkulit lebih gelap dari kulitku, menampar mukaku dan kemudian mendorongku ke dinding. Kedua tanganku terikat ke belakang. Pukulannya menghunjam di perut membuat aku menjerit dan hampir muntah. Dadaku ditonjoknya dengan keras yang membuatku mengerang dan jatuh terduduk.
“Kau ekstremis, ya! Mengaku!” katanya sambil menendang kakiku dengan ujung tumit sepatu larsnya. Aku nyaris rebah. “Jawab! Monyet kamu, ya?”
Rasa sakit terasa di sekujur tubuh. Ia menyiram tubuhku dengan air yang membuat luka di kakiku terasa nyeri dan pedih. “Kau teroris! Ekstremis keparat! Ayo, mengaku!” Ditendangnya tubuhku sampai terbujur di lantai. Tubuhku menjadi basah karena air yang menggenang di lantai. “Kalau kau tidak mengaku, tubuhmu akan disetrom. Ia memutar-mutar baterai di depan mataku, mengambil sebuah engkol dan menyambungkannya dengan kabel yang hendak dibelitkan ke tubuhku. Aku menjadi ngeri dan mengaduh. “Ayo, mengaku!”
Sebelum arus listrik menyentuh sekujur tubuhku dengan perlahan aku mengaku. “Ya,” jawabku.
“Nah, bagus!” katanya sambil menyeringai. “Itu lebih baik bagimu.”
Ia membuka tali ikatan tanganku. Menarikku supaya berdiri dengan entakkan yang keras sehingga tubuhku terayun dan lenganku terasa nyeri.
Dengan kepala dan tubuh yang basah disuruhnya aku duduk di depan meja tua. Ia duduk di seberang meja dan mulai menulis di atas kertas.
Ia menanyakan namaku, asal, nama orangtua, nama saudara, kawan sekampung, nama pasukan, siapa komandan, siapa yang menyuruh memerangi Belanda, dan masih banyak pertanyaan lainnya.
Kujawab seadanya. Kepalaku masih pusing. Entahkah nama orang yang kusebut betul atau tidak, aku tidak tahu. Sekadar menyebut nama saja. Lalu ia menyodorkan secarik kertas kepadaku untuk ditandatangani.
Aku dimasukkan ke dalam kamar tahanan. Kulihat di sana ada beberapa orang yang babak belur, tergeletak di lantai. Yang lain bersandar di dinding dengan pandang mata yang nanap. Ada yang kukenal dan aku bersikap seperti tidak mengenal. Ia pun bersikap demikian. Aku tidak tahu siapa lawan siapa kawan. Kurasa, di dalam tahanan itu pastilah ada mata-mata, kuduga, mereka yang tidak ada luka di tubuh.
Dalam dua minggu di rumah tahanan itu, aku melihat orang yang dibawa dan tidak pernah kembali. Pada suatu hari, aku dipanggil dan kukira itulah akhir hidupku. Aku dibawa ke rumah komandan pasukan Belanda yang baru saja diganti. Ia baru kembali di negeri Belanda setelah negeri itu dibebaskan dari pasukan penjajahan Jerman.
Prajurit yang membawaku menghadap komandan itu mengatakan bahwa aku adalah ekstremis yang tertangkap dalam pertempuran beberapa minggu yang lalu. Pak Komandan menerima penyerahanku dan menempatkan aku tidak jauh dari barak tempat pengawalnya berjaga.
Akhirnya aku tahu bahwa nama komandan pasukan Belanda itu adalah Kapten Van den Bosch. Setiap hari ia memanggil aku. Hari pertama ia menanyaiku dan yang pertama ditanyakannya bukan siapa namaku, melainkan, “Berapa umurmu.” Kujawab bahwa umurku enam belas tahun. Aku menguranginya satu tahun. Ia mengangguk-anggukkan kepala sambil berkata, “Kau masih anak-anak. Anak-anak tidak baik memegang senjata.”
Kutahu kemudian bahwa van den Bosch pernah bertugas di Betawi, Pulau Jawa, sebelum Perang Dunia II meletus, dan paham bahasa Melayu.
“Nak,” katanya. “Tugasmu setiap hari adalah membersihkan kendaraan di sini. Semua kendaraan yang ada di sini harus kau bersihkan setiap hari. Khusus jip komandan, kau harus bersihkan sampai mengilap, rapi. Ambil air dari danau. Mengerti? Laksanakan!”
Maka tugasku setiap hari mengangkat air dari tepi danau dan mencuci semua kendaraan yang ada. Tentu yang pertama kuurus ialah jip komandan, van den Bosch. Setiap pagi aku ke tepi danau, mengisi ember dan mengikutinya untuk mencuci kendaraan. Kulihat nelayan yang pulang pagi membawa ikan hasil tangkapannya. Sesekali aku ngobrol dengan mereka. Tetapi aku harus hati-hati karena mereka pun pastilah bagian dari kaki tangan Belanda. Tidak ada nelayan yang sebebas mereka bila tidak ada kaitannya dengan tentara Belanda.
Pada suatu sore Kapten van den Bosch memanggilku ke kantornya. Hal itu jarang terjadi. Baru kali ini aku dipanggil secara khusus.
“Nak, aku kasihan padamu. Usiamu masih amat muda. Tidak pantas kau bertempur di medan perang. Karena itu, begini saja. Nanti sore, menjelang hari gelap, kau kempeskan semua ban kendaraan. Semua saja. Lalu kau lari minta tolong kepada nelayan yang selalu berada di dekat pantai itu. Mengerti?”
Aku terkesiap. Apakah ini sebuah jebakan? Van den Bosch mengulang, “Mengerti?”
“Ya,” Kataku gugup.
“Laksanakan!”
Aku keluar dan segera mengangkat ember dan kembali mencuci kendaraan yang ada sampai gelap tiba. Satu demi satu ban kendaraan kukempeskan, juga jip komandan. Kemudian aku menyelinap setelah kurasa situasi aman, bergegas ke tepi danau dan betul di sana ada nelayan yang duduk di atas perahu. Kukatakan kepadanya bahwa komandan menyuruhku lari. “Betul?” Jawab nelayan itu. “Ya,” jawabku. Dan ia membawa aku menjauh dari pantai dan di tengah kegelapan malam, aku tiba di sebuah perkampungan yang aman dari jangkauan tentara Belanda dan aku bergabung kembali dengan induk pasukan.
Mantan Letkol Banun berhenti sejenak menarik napas.
“Ipar,” katanya meneruskan ceritanya, “jip ini mengingatkan aku selalu kepada van den Bosch. Kalau jip ini sudah selesai dilengkapi maka di bagian belakang ini, di atas nomor pelat, akan kutulis besar-besar dari ujung kiri ke ujung kanan: VAN DEN BOSCH, dan di bagian atas akan kukibarkan bendera Merah Putih yang terbuat dari bahan pelat yang sebesar bendera biasa.”
Sang Ipar mengangguk mengerti.***
Bandung, 9 Februari 2007



Cerpen Umar Kayam
September 18, 2008, 10:34 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
SERIBU KUNANG-KUNANG DI MANHATTAN
Cerpen Umar Kayam
Mereka duduk bermalas-malasan di sofa. Marno dengan segelas scotch dan Jane dengan segelas martini. Mereka sama-sama memandang ke luar jendela.
“Bulan itu ungu, Marno.”
“Kau tetap hendak memaksaku untuk percaya itu ?”
“Ya, tentu saja, Kekasihku. Ayolah akui. Itu ungu, bukan?”
“Kalau bulan itu ungu, apa pula warna langit dan mendungnya itu?”
“Oh, aku tidak ambil pusing tentang langit dan mendung. Bulan itu u-ng-u! U-ng-u! Ayolah, bilang, ungu!”
“Kuning keemasan!”
“Setan! Besok aku bawa kau ke dokter mata.”
Marno berdiri, pergi ke dapur untuk menambah air serta es ke dalam gelasnya, lalu dia duduk kembali di sofa di samping Jane. Kepalanya sudah terasa tidak betapa enak.
“Marno, Sayang.”
“Ya, Jane.”
“Bagaimana Alaska sekarang?”
“Alaska? Bagaimana aku tahu. Aku belum pernah ke sana.”
“Maksudku hawanya pada saat ini.”
“Oh, aku kira tidak sedingin seperti biasanya. Bukankah di sana ada summer juga seperti di sini?”
“Mungkin juga. Aku tidak pernah berapa kuat dalam ilmu bumi. Gambaranku tentang Alaska adalah satu padang yang amat l-u-a-s dengan salju, salju dan salju.Lalu di sana-sini rumah-rumah orang Eskimo bergunduk-gunduk seperti es krim panili.”
“Aku kira sebaiknya kau jadi penyair, Jane. Baru sekarang aku mendengar perumpamaan yang begitu puitis. Rumah Eskimo sepeti es krim panili.”
“Tommy, suamiku, bekas suamiku, suamiku, kautahu …. Eh, maukah kau membikinkan aku segelas ….. ah, kau tidak pernah bisa bikin martini. Bukankah kau selalu bingung, martini itu campuran gin dan vermouth atau gin dan bourbon? Oooooh, aku harus bikin sendiri lagi ini …. Uuuuuup ….”
Dengan susah payah Jane berdiri dan dengan berhati-hati berjalan ke dapur. Suara gelas dan botol beradu, terdengar berdentang-dentang.
Dari dapur, “bekas suamiku, kautahu ….. Marno, Darling.”
“Ya, ada apa dengan dia?”
“Aku merasa dia ada di Alaska sekarang.”
Pelan-pelan Jane berjalan kembali ke sofa, kali ini duduknya mepet Marno.
“Di Alaska. Coba bayangkan, di Alaska.”
“Tapi Minggu yang lalu kaubilang dia ada di Texas atau di Kansas. atau mungkin di Arkansas.”
“Aku bilang, aku me-ra-sa Tommy berada di Alaska.”
“Oh.”
“Mungkin juga dia tidak di mana-mana.”
Marno berdiri, berjalan menuju ke radio lalu memutar knopnya. Diputar-putarnya beberapa kali knop itu hingga mengeluarkan campuran suara-suara yang aneh. Potongan-potongan lagu yang tidak tentu serta suara orang yang tercekik-cekik. Kemudian dimatikannya radio itu dan dia duduk kembali di sofa.
“Marno, Manisku.”
“Ya, Jane.”
“Bukankah di Alaska, ya, ada adat menyuguhkan istri kepada tamu?”
“Ya, aku pernah mendengar orang Eskimo dahulu punya adat-istiadat begitu. Tapi aku tidak tahu pasti apakah itu betul atau karangan guru antropologi saja.”
“Aku harap itu betul. Sungguh, Darling, aku serius. Aku harap itu betul.”
“Kenapa?”
“Sebab, seee-bab aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan di Alaska. Aku tidak maaau.”
“Tetapi bukankah belum tentu Tommy berada di Alaska dan belum tentu pula sekarang Alaska dingin.”
Jane memegang kepala Marno dan dihadapkannya muka Marno ke mukanya. Mata Jane memandang Marno tajam-tajam.
“Tetapi aku tidak mau Tommy kesepian dan kedinginan! Maukah kau?”
Marno diam sebentar. Kemudian ditepuk-tepuknya tangan Jane.
“Sudah tentu tidak, Jane, sudah tentu tidak.”
“Kau anak yang manis, Marno.”
Marno mulai memasang rokok lalu pergi berdiri di dekat jendela. Langit bersih malam itu, kecuali di sekitar bulan. Beberapa awan menggerombol di sekeliling bulan hingga cahaya bulan jadi suram karenanya. Dilongokknannya kepalanya ke bawah dan satu belantara pencakar langit tertidur di bawahnya. Sinar bulan yang lembut itu membuat seakan-akan bangunan-bangunan itu tertidur dalam kedinginan. Rasa senyap dan kosong tiba-tiba terasa merangkak ke dalam tubuhnya.
“Marno.”
“Ya, Jane.”
“Aku ingat Tommy pernah mengirimi aku sebuah boneka Indian yang cantik dari Oklahoma City beberapa tahun yang lalu. Sudahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh.”
Jane menghirup martini-nya empat hingga lima kali dengan pelan-pelan. Dia sendiri tidak tahu sudah gelas yang keberapa martini dipegangya itu.
Lagi pula tidak seorang pun yang memedulikan.
“Eh, kau tahu, Marno?”
“Apa?”
“Empire State Building sudah dijual.”
“Ya, aku membaca hal itu di New York Times.”
“Bisakah kau membayangkan punya gedung yang tertinggi di dunia?”
“Tidak. Bisakah kau?”
“Bisa, bisa.”
“Bagaimana?”
“Oh, tak tahulah. Tadi aku kira bisa menemukan pikiran-pikiran yang cabul dan lucu. Tapi sekarang tahulah ….”
Lampu-lampu yang berkelipan di belantara pencakar langit yang kelihatan dari jendela mengingatkan Marno pada ratusan kunang-kunang yang suka bertabur malam-malam di sawah embahnya di desa.
“Oh, kalau saja …..”
“Kalau saja apa, Kekasihku?”
“Kalau saja ada suara jangkrik mengerik dan beberapa katak menyanyi dari luar sana.”
“Lantas?”
“Tidak apa-apa. Itu kan membuat aku lebih senang sedikit.”
“Kau anak desa yang sentimental!”
“Biar!”
Marno terkejut karena kata “biar” itu terdengar keras sekali keluarnya.
“Maaf, Jane. Aku kira scotch yang membuat itu.”
“Tidak, Sayang. Kau merasa tersinggung. Maaf.”
Marno mengangkat bahunya karena dia tidak tahu apa lagi yang mesti diperbuat dengan maaf yang berbalas maaf itu.
Sebuah pesawat jet terdengar mendesau keras lewat di atas bangunan apartemen Jane.
“Jet keparat!”
Jane mengutuk sambil berjalan terhuyung ke dapur. Dari kamar itu Marno mendengar Jane keras-keras membuka kran air. Kemudian dilihatnya Jane kembali, mukanya basah, di tangannya segelas air es.
“Aku merasa segar sedikit.”
Jane merebahkan badannya di sofa, matanya dipejamkan, tapi kakinya disepak-sepakkannya ke atas. Lirih-lirih dia mulai menyanyi : deep blue sea, baby, deep blue sea, deep blue sea, baby, deep blue sea ……
“Pernahkah kau punya keinginan, lebih-lebih dalam musim panas begini, untuk telanjang lalu membiarkan badanmu tenggelam dalaaammm sekali di dasar laut yang teduh itu, tetapi tidak mati dan kau bisa memandang badanmu yang tergeletak itu dari dalam sebuah sampan?”
“He? Oh, maafkan aku kurang menangkap kalimatmu yang panjang itu. Bagaimana lagi, Jane?”
“Oh, lupakan saja. Aku Cuma ngomong saja. Deep blue sea, baby, deep blue, deep blue sea, baby, deep blue sea ….”
“Marno.”
“Ya.”
“Kita belum pernah jalan-jalan ke Central Park Zoo, ya?”
“Belum, tapi kita sudah sering jalan-jalan ke Park-nya.”
“Dalam perkawinan kami yang satu tahun delapan bulan tambah sebelas hari itu, Tommy pernah mengajakku sekali ke Central Park Zoo. Ha, aku ingat kami berdebat di muka kandang kera. Tommy bilang chimpansee adalah kera yang paling dekat kepada manusia, aku bilang gorilla. Tommy mengatakan bahwa sarjana-sarjana sudah membuat penyelidikan yang mendalam tentang hal itu, tetapi aku tetap menyangkalnya karena gorilla yang ada di muka kami mengingatkan aku pada penjaga lift kantor Tommy. Pernahkah aku ceritakan hal ini kepadamu?”
“Oh, aku kira sudah, Jane. Sudah beberapa kali.”
“Oh, Marno, semua ceritaku sudah kau dengar semua. Aku membosankan, ya, Marno? Mem-bo-san-kan.”
Marno tidak menjawab karena tiba-tiba saja dia merasa seakan-akan istrinya ada di dekat-dekat dia di Manhattan malam itu. Adakah penjelasannya bagaimana satu bayang-bayang yang terpisah beribu-ribu kilometer bisa muncul begitu pendek?
“Ayolah, Marno. Kalau kau jujur tentulah kau akan mengatakan bahwa aku sudah membosankan. Cerita yang itu-itu saja yang kau dengar tiap kita ketemu. Membosankan, ya? Mem-bo-san-kan!”
“Tapi tidak semua ceritamu pernah aku dengar. Memang beberapa ceritamu sudah beberapa kali aku dengar.”
“Bukan beberapa, Sayang. Sebagian besar.”
“Baiklah, taruhlah sebagian terbesar sudah aku dengar.”
“Aku membosankan jadinya.”
Marno diam tidak mencoba meneruskan. Disedotnya rokoknya dalam-dalam, lalu dihembuskannya lagi asapnya lewat mulut dan hidungnya.
“Tapi Marno, bukankah aku harus berbicara? Apa lagi yang bisa kukerjakan kalau aku berhenti bicara? Aku kira Manhattan tinggal tinggal lagi kau dan aku yang punya. Apalah jadinya kalau salah seorang pemilik pulau ini jadi capek berbicara? Kalau dua orang terdampar di satu pulau, mereka akan terus berbicara sampai kapal tiba, bukan?”
Jane memejamkan matanya dengan dadanya lurus-lurus telentang di sofa. Sebuah bantal terletak di dadanya. Kemudian dengan tiba-tiba dia bangun, berdiri sebentar, lalu duduk kembali di sofa.
“Marno, kemarilah, duduk.”
“Kenapa? Bukankah sejak sore aku duduk terus di situ.”
“Kemarilah, duduk.”
“Aku sedang enak di jendela sini, Jane. Ada beribu kunang-kunang di sana.”
“Kunang-kunang?”
“Ya.”
“Bagaimana rupa kunang-kunang itu? Aku belum pernah lihat.”
“Mereka adalah lampu suar kecil-kecil sebesar noktah.”
“Begitu kecil?”
“Ya. Tetapi kalau ada beribu kunang-kunang hinggap di pohon pinggir jalan, itu bagaimana?”
“Pohon itu akan jadi pohon-hari-natal.”
“Ya, pohon-hari-natal.”
Marno diam lalu memasang rokok sebatang lagi. Mukanya terus menghadap ke luar jendela lagi, menatap ke satu arah yang jauh entah ke mana.
“Marno, waktu kau masih kecil ….. Marno, kau mendengarkan aku, kan?”
“Ya.”
“Waktu kau masih kecil, pernahkah kau punya mainan kekasih?”
“Mainan kekasih?”
“Mainan yang begitu kau kasihi hingga ke mana pun kau pergi selalu harus ikut?”
“Aku tidak ingat lagi, Jane. Aku ingat sesudah aku agak besar, aku suka main-main dengan kerbau kakekku, si Jilamprang.”
“Itu bukan mainan, itu piaraan.”
“Piaraan bukankah untuk mainan juga?”
“Tidak selalu. Mainan yang paling aku kasihi dahulu adalah Uncle Tom.”
“Siapa dia?”
“Dia boneka hitam yang jelek sekali rupanya. Tetapi aku tidak akan pernah bisa tidur bila Uncle Tom tidak ada di sampingku.”
“Oh, itu hal yang normal saja, aku kira. Anakku juga begitu. Punya anakku anjing-anjingan bernama Fifie.”
“Tetapi aku baru berpisah dengan Uncle Tom sesudah aku ketemu Tommy di High School. Aku kira, aku ingin Uncle Tom ada di dekat-dekatku lagi sekarang.”
Diraihnya bantal yang ada di sampingnya, kemudian digosok-gosokkannya pipinya pada bantal itu. Lalu tiba-tiba dilemparkannya lagi bantal itu ke sofa dan dia memandang kepala Marno yang masih bersandar di jendela.
“Marno, Sayang.”
“Ya.”
“Aku kira cerita itu belum pernah kaudengar, bukan ?”
“Belum, Jane.”
“Bukankah itu ajaib? Bagaimana aku sampai lupa menceritakan itu sebelumnya.”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane.”
“Tahukah kau? Sejak sore tadi baru sekarang kau tersenyum. Mengapa?”
Marno tersenyum
“Aku tidak tahu, Jane. Sungguh.”
Sekarang Jane ikut tersenyum.
“Oh, ya, Marno, manisku. Kau harus berterima kasih kepadaku. Aku telah menepati janjiku.”
“Apakah itu, Jane?”
“Piyama. Aku telah belikan kau piyama, tadi. Ukuranmu medium-large, kan? Tunggu, ya ……”
Dan Jane, seperti seekor kijang yang mendapatkan kembali kekuatannya sesudah terlalu lama berteduh, melompat-lompat masuk ke dalam kamarnya. Beberapa menit kemudian dengan wajah berseri dia keluar kembali dengan sebuah bungkusan di tangan.
“Aku harap kausuka pilihanku.”
Dibukanya bungkusan itu dan dibeberkannya piyama itu di dadanya.
“Kausuka dengan pilihanku ini?”
“Ini piyama yang cantik, Jane.”
“Akan kau pakai saja malam ini. Aku kira sekarang sudah cukup malam untuk berganti dengan piyama.”
Marno memandang piyama yang ada di tangannya dengan keraguan.
“Jane.”
“Ya, Sayang.”
“Eh, aku belum tahu apakah aku akan tidur di sini malam ini.”
“Oh? Kau banyak kerja?”
“Eh, tidak seberapa sesungguhnya. Cuma tak tahulah ….”
”Kaumerasa tidak enak badan?”
“Aku baik-baik saja. Aku …. eh, tak tahulah, Jane.”
“Aku harap aku mengerti, Sayang. Aku tak akan bertanya lagi.”
“Terima kasih, Jane.”
“Terserahlah. Cuma aku kira, aku tak akan membawanya pulang.”
“Oh”.
Pelan-pelan dibungkusnya kembali piyama itu lalu dibawanya masuk ke dalam kamarnya. Pelan-pelan Jane keluar kembali dari kamarnya.
“Aku kira, aku pergi saja sekarang, Jane.”
“Kau akan menelpon aku hari-hari ini, kan?”
‘Tentu, Jane.”
“Kapan, aku bisa mengharapkan itu?
“Eh, aku belum tahu lagi, Jane. Segera aku kira.”
“Kautahu nomorku kan? Eldorado”
“Aku tahu, Jane.”
Kemudian pelan-pelan diciumnya dahi Jane, seperti dahi itu terbuat dari porselin. Lalu menghilanglah Marno di balik pintu, langkahnya terdengar sebentar dari dalam kamar turun tangga.
Di kamarnya, di tempat tidur sesudah minum beberapa butir obat tidur, Jane merasa bantalnya basah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Majid T Dhuro © 2010 - All right reserved - Using Abdul Majid Tamum
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.