SINOPSIS ROMAN BUMI MANUSIA
Roman
tetralogi Pulau Buru Bumi Manusia
mengambil latar belakangdari cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20.
Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era
membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga bertautan rasa, kegamangan
jiwa, percintaan, dan pertautan kekuatan anonym para srikandi yang mengawal
penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.
Dari
kata-kata Pram dalam pembukaan sub judul di atas, tampak jelas Pram merupakan orang yang paham akan wacana
poskolonial. Dia menyadari bahwa era sekarang memiliki hubungan yang
sangat erat dengan masa lalu. Serta Pram juga menyadari betapa hibridnya
manusia-manusia sekarang, dikarenakan merupakan hasil dari proses hibriditas
masa-masa yang telah lalu. Sehingga diragukan bila saat ini masih ada orang
yang mampu menjamin dirinya asli seratus persen Indonesia. Demikian pula dalam
Tetralogi Pulau Buru, terlihat sangat kental wacana-wacana postkolonial
misalnya subaltern dan hibriditas. Hal itu terlihat dari penokohan
masing-masing tokohnya. Dengan demikian, meski dalam roman ini berlatar
belakang waktu jaman kolonial, namun sangat kaya dengan wacana-wacana
postkolonial
Seperti
yang telah kita tahu, Indonesia mempunyai masa lalu yang kelam. Selama kurang
lebih 3,5 abad, negara kita berada di bawah cengkraman Belanda. Ditambah lagi
3,5 tahun kebengisan jepang pada rentang 1942-1945. Sebagai negara bekas
koloni, tentu saja telah terjadi banyak penyimpangan dan ketimpangan antara
pihak penjajah dan terjajah. Ketimpangan inilah menjadi objek subur kajian
postkolonialisme.
Roman
bagian pertama; sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana sosok aktor
yang gambarkan Pram mampu berusaha dan keluar dari kepompong kajawaannya menuju
manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang
menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban. Tidak
hanya itu banyak perenungan yang dapat dijadikan pondasi pengetahuan tentang
peradaban eropa yang dengan hebatnya mengkonsrtuksi sosial-budaya pribumi. Hal
ini tentu berkelindan dengan etos rekonsrtruksi yang digambarkan Pram pada
roman ini.
Pram
menggambarkan Pembayangan terhadap hal yang ideal menjadi wacana yang menarik.
Bukan saja hendak meneguhkan mitos, tetapi sekaligus berimplikasi akan adanya
sebuah kualitas Eropa setingkat di atas Pribumi. Pembayangan ini menjadi wajar
dalam kerangka ini, mengingat minoritas Eropa di Jawa tehadap mayoritas
pribumi. Tetapi malah mampu mengatur kehidupan pribumi dengan segala tata aturan
menurut sistem yang berlaku. Ini tentu menjadi tanda tanya besar, kenapa bisa
terjadi? Namun kita juga perlu tahu tentang bagaimana sejak zaman renaissance,
bangsa barat menjadikan ilmu pengetahuan sebagai titik tolak untuk ”berkuasa”.
Pendidikan
kolinial telah membentuk wacana baru dalam benak aktor yang ada pada roman Bumi Manusia. Kekaguman terhadap Eropa
merupakan salah satu ciri hibriditas. Di sisi lain, pandangannya megandung
ambivalensi. Secara tak sadar ia menerima kehebatan Eropa, dan dengan demikian
semakin memitoskan jika Eropa (baca: Barat) lebih unggul dari bangsanya
(timur). Hal ini memicu konstruksi yang dominan. Tidak hanya mengenai pola
pikirnya tatpi juga terhadap streotipe nasionalisme.
Annelies
adalah perempuan muda Indo cantik, mamanya seorang pribumi dan Ayahnya dari
Eropa (Belanda). Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Karena tumbuh
dalam didikan dan linngkungan budaya Eropa, maka ia pun memiliki pandangan
kebarat-baratan dan cenderung merendahkan bangsanya sendiri. Akan tetapi di
balik pandangannya ada sisi nasionalisme yang ditunjukan Annelies, dan itu
berkat didikan mamanya yang jauh dari itu sudah lebih dulu mengetahui budaya
Eropa.
Annelies
sosok pekerja keras, terbukti bagaimana ia memimpin perusahaan milik keluarganya
dengan baik. Namun di balik semua itu kehidupannay penuh dengan pertarungan
identitas. Dimana dalam satu sisi Annelies harus memosisikan diri sebagai Eropa
dengan kebudayaan yang ia kenal penuh dengan kemajuan. Di sisi lain Annelies
harus menunjukan kalau dirinya seorang Pribumi.
Perrungan
identitas itu berimpkasi pada sikap ambivalensi Annelies. Bagaimana ia harus
membenci Eropa karena sudah menjajah bangsa ini juga ia dengan sangat sadar
membanggakan budaya Eroya, karena sudah mengantarkannya pada derajat yang
layak.
Di
akhir cerita, Annelies harus berpisah dari keluarga, meninggalkan tanah
kelahiran dan harus kembali ke Eropa. Kondisi itu benar-benar membuat Annelies
tidak berdaya. Akan tetapi kecintaannya terhadap tanah pribumi tetap terpatri
dalam diri Annelies.
“Mas, aku lebih suka pada ombak, pada
busa dan pada gelombang daripada kapal dan Nederlamd …” (530)