Karakter Sinopsis Film Gaya Hidup
lamongan Bojonegoro Tuban Gersik Ngawi
tes sd-sma MTK,B.INDO,B.ing tes sd-sma-smk B.ing tes psikometrika tes ipa
pakde nono Resto Romantis di Jkt Hokben Delivery Bakmi GM Delivery PHD - Pizza Hut
Lirik Lagu Sinopsis Film Gaya Hidup
Liputan 6 berita jakarta Gaya Hidup

Jumat, 12 Juli 2013


SINOPSIS ROMAN BUMI MANUSIA
Roman tetralogi Pulau Buru Bumi Manusia mengambil latar belakangdari cikal bakal nation Indonesia di awal abad ke-20. Dengan membacanya waktu kita dibalikkan sedemikian rupa dan hidup di era membibitnya pergerakan nasional mula-mula, juga bertautan rasa, kegamangan jiwa, percintaan, dan pertautan kekuatan anonym para srikandi yang mengawal penyemaian bangunan nasional yang kemudian kelak melahirkan Indonesia modern.
Dari kata-kata Pram dalam pembukaan sub judul di atas, tampak jelas Pram merupakan orang yang paham akan wacana poskolonial. Dia menyadari bahwa era sekarang memiliki hubungan yang sangat erat dengan masa lalu. Serta Pram juga menyadari betapa hibridnya manusia-manusia sekarang, dikarenakan merupakan hasil dari proses hibriditas masa-masa yang telah lalu. Sehingga diragukan bila saat ini masih ada orang yang mampu menjamin dirinya asli seratus persen Indonesia. Demikian pula dalam Tetralogi Pulau Buru, terlihat sangat kental wacana-wacana postkolonial misalnya subaltern dan hibriditas. Hal itu terlihat dari penokohan masing-masing tokohnya. Dengan demikian, meski dalam roman ini berlatar belakang waktu jaman kolonial, namun sangat kaya dengan wacana-wacana postkolonial
Seperti yang telah kita tahu, Indonesia mempunyai masa lalu yang kelam. Selama kurang lebih 3,5 abad, negara kita berada di bawah cengkraman Belanda. Ditambah lagi 3,5 tahun kebengisan jepang pada rentang 1942-1945. Sebagai negara bekas koloni, tentu saja telah terjadi banyak penyimpangan dan ketimpangan antara pihak penjajah dan terjajah. Ketimpangan inilah menjadi objek subur kajian postkolonialisme.
Roman bagian pertama; sebagai periode penyemaian dan kegelisahan dimana sosok aktor yang gambarkan Pram mampu berusaha dan keluar dari kepompong kajawaannya menuju manusia yang bebas dan merdeka, di sudut lain membelah jiwa ke-Eropa-an yang menjadi simbol dan kiblat dari ketinggian pengetahuan dan peradaban. Tidak hanya itu banyak perenungan yang dapat dijadikan pondasi pengetahuan tentang peradaban eropa yang dengan hebatnya mengkonsrtuksi sosial-budaya pribumi. Hal ini tentu berkelindan dengan etos rekonsrtruksi yang digambarkan Pram pada roman ini.
Pram menggambarkan Pembayangan terhadap hal yang ideal menjadi wacana yang menarik. Bukan saja hendak meneguhkan mitos, tetapi sekaligus berimplikasi akan adanya sebuah kualitas Eropa setingkat di atas Pribumi. Pembayangan ini menjadi wajar dalam kerangka ini, mengingat minoritas Eropa di Jawa tehadap mayoritas pribumi. Tetapi malah mampu mengatur kehidupan pribumi dengan segala tata aturan menurut sistem yang berlaku. Ini tentu menjadi tanda tanya besar, kenapa bisa terjadi? Namun kita juga perlu tahu tentang bagaimana sejak zaman renaissance, bangsa barat menjadikan ilmu pengetahuan sebagai titik tolak untuk ”berkuasa”.
Pendidikan kolinial telah membentuk wacana baru dalam benak aktor yang ada pada roman Bumi Manusia. Kekaguman terhadap Eropa merupakan salah satu ciri hibriditas. Di sisi lain, pandangannya megandung ambivalensi. Secara tak sadar ia menerima kehebatan Eropa, dan dengan demikian semakin memitoskan jika Eropa (baca: Barat) lebih unggul dari bangsanya (timur). Hal ini memicu konstruksi yang dominan. Tidak hanya mengenai pola pikirnya tatpi juga terhadap streotipe nasionalisme.
Annelies adalah perempuan muda Indo cantik, mamanya seorang pribumi dan Ayahnya dari Eropa (Belanda). Ia tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Karena tumbuh dalam didikan dan linngkungan budaya Eropa, maka ia pun memiliki pandangan kebarat-baratan dan cenderung merendahkan bangsanya sendiri. Akan tetapi di balik pandangannya ada sisi nasionalisme yang ditunjukan Annelies, dan itu berkat didikan mamanya yang jauh dari itu sudah lebih dulu mengetahui budaya Eropa.
Annelies sosok pekerja keras, terbukti bagaimana ia memimpin perusahaan milik keluarganya dengan baik. Namun di balik semua itu kehidupannay penuh dengan pertarungan identitas. Dimana dalam satu sisi Annelies harus memosisikan diri sebagai Eropa dengan kebudayaan yang ia kenal penuh dengan kemajuan. Di sisi lain Annelies harus menunjukan kalau dirinya seorang Pribumi.
Perrungan identitas itu berimpkasi pada sikap ambivalensi Annelies. Bagaimana ia harus membenci Eropa karena sudah menjajah bangsa ini juga ia dengan sangat sadar membanggakan budaya Eroya, karena sudah mengantarkannya pada derajat yang layak.
Di akhir cerita, Annelies harus berpisah dari keluarga, meninggalkan tanah kelahiran dan harus kembali ke Eropa. Kondisi itu benar-benar membuat Annelies tidak berdaya. Akan tetapi kecintaannya terhadap tanah pribumi tetap terpatri dalam diri Annelies.
“Mas, aku lebih suka pada ombak, pada busa dan pada gelombang daripada kapal dan Nederlamd …” (530)

Selasa, 03 April 2012

Organisasi? Kuliah?

MAHASISWA DI ANTARA URGENSITAS KULIAH, DAN AKTIF ORGANISASI

Siapakah Mahasiswa Itu
Seseorang ( individu ) yang sedang “ belajar “ ( kuliah ) di perguruan tinggi.   “ Maha “ artinya harus memiliki kelebihan – kelebihan dari sekedar siswa. Apalagi sama dengan siswa SMU. Tidak ada artinya dia “ memikul “ nama mahasiswa, jika tidak ada ; idealisme, intelektualitas, kecendikiawanan, daya kritis dan memiliki moralitas terpuji. Idealnya sih…, ada pada nama seseorang mahasiswa. Ciri utama mahasiswa adalah “ netralitas “ dan “ bersih “ dari kepentingan politik pragmatis dari siapapun.
Kebenaran dan kejujuran puncak idealisme mahasiswa. Perubahan pemikiran mulai bergeser dari kekanak-kanakan menjadi kedewasaan berpikir, bertindak dan berlaku lampah untuk kepentingan yang lebih luas. Untuk mendukung hal itu maka perbanyaklah membaca buku ( tekstual ), membaca lingkungan ( kontekstual ). Mahasiswa harus memiliki integritas, wawasan yang luas dan komprehensif. Wawasan kebangsaan ( nasionalme ), keilmuan ( science ), keagamaan ( religius ), pluralitasme, multikulturisme. Mahasiswa harus selalu belajar. Itulah mahasiswa.

Perguruan Tinggi
Perguruan tinggi itu ada yang berbentuk : (1) Universitas, (2) institute,         (3) sekolah tingi, (4) akademi, (5) politeknik dan lain sebagainya.
Perguran tinggi bertujuan mencetak mahasiswa yang mampu  mengembangkan dan memiliki kompetensi pengetahuan ( knowledge ), keterampilan ( skill ) dan sikap        ( attitude ) dengan ciri-ciri ; terbuka, kritis, jujur, obyektif, rasa ingin tahu, tangguh, tekun, mampu bekerja mandiri maupun berkelompok, berpikir dan bertindak secara rasional dan sistematis, memiliki kesadaran kuantitatif dan kualitatif, mampu menggali dan mengolah informasi, memiliki moralitas agama, mampu melihat permasalahan dan pemecahannya dalam kaitan yang lebih luas. Secara umum tujuan pendidikan tinggi sebagaimana dijelaskan dalam tujuan pendidikan nasional yakni meningkatkan kualitas manusia Indonesia.



Apa Sih, Motivasi Mahasiswa Masuk Organisasi
    Mahasiswa masuk berbagai organisasi motivasinya bisa bermacam-macam : ada karena (1) rumpun keilmuan ( pusat studi / kajian ), (2) ideology keagamaan,     (3) nasionalisme, (4) kesamaan hobby, (5) kesamaan ide / cita-cita, (6) kesamaan kepentingan untuk memperjuangkan sesuatu dsb, motivasi paling sederhana adalah , (7) mencari banyak teman / sahabat, bahkan cari “ pacar “ sekalipun tidak apa. Anda masuk organisasi apa ? silahkan pilih, sesuai minat anda. Tetapkan tujuan (goals) anda. Mau kemana ? dan akan dimana ? mahasiswa harus memiliki tujuan yang jelas dan focus. Yang repot jika mahasiswa itu memiliki nilai akademik belepotan, aktif di organisasi juga tidak!. Mendingan jika salah satu berprestasi. Yang ideal sih ; kedua-duanya mengagumkan ORTU dan ORLA.

“Kuliah “ Atau “ Berorganisasi “ Mana Yang Lebih Utama
    Untuk menjadi sukses, kita perlu memastikan pilihan dan menyeimbangkan sisi kehidupan “ dunia mahasiswa “ di pergurun tinggi dengan “ tuntutan kuliah/belajar “. Secara ektrim dunia mahasiswa di bagi dua : (1) sekelompok mahasiswa ada yang mengutamakan organisasi (organized minded), sebaliknya ada (2) sekelompok mahasiswa yang kutu buku (academic minded), dan gagal memanfaatkan kehidupan social, aktivitas dan rekreasi yang ditawarkan oleh “dunia perguruan tinggi”.
Belajar menjadi jauh lebih efektif jika kita juga melakukan partisipasi fisik atau berperan serta dalam aktivitas social dengan rekan-rekan mahasiswa kita. Kegiatan semacam ini akan menyababkan kita tetap segar dan siaga. Kegiatan-kegiatan itu membuat kita menjadi pribadi yang menarik dan menyebabkan kita memperoleh banyak teman, banyak pengalaman, banyak informasi dsb. Dalam istilah psikologis; jadilah individu yang extropet (terbuka) tidak intropet (tertutup). Orang tertutup cenderung mudah tersinggung dan emosional. Mahasiswa tanpa berorganisasi adalah kering; kering teman, kering pengalaman, kering informasi.
    Manfaatkanlah “ dunia mahasiswa” gunakanlah “ status mahasiswa” kita sebagai ajang pengambangan potensi diri, kreativitas kita dan aktualisasikan jati diri mahasiswa yang terkenal kritis, jernih, independent, bebas kepentingan, dan sebagai   ‘agent of change’. Sukseskanlah belajar kita dengan tetap mengikuti organisasi.


    Berorganisasi harus “aktif” tetapi ‘jangan lupa kuliah”, kita bisa disebut mahasiswa, jika kita belajar !! Berjalanlah seimbang dan simultan diantara dua kaki wadah pengembangan potensi diri ; kuliah-lah dengan baik dan ber-organisasi-lah dengan  aktif ! sukses menunggu kita di depan ! insya ALLAH. Kecerdikan seseorang itu akan diukur oleh tingkat kecepatan, ketepatan dalam pengambilan keputusan (decetion making) dan tindakan (action). Tidak hanya sekedar memahami teks buku, tetapi berinteraksi dengan sesama. Kecerdikan pengambilan keputusan dan tindakan ini akan terlatih dalam organisasi, tidak ada dalam kuliah! Cuma harus diingat!! Jangan aktif di organisasi tapi melupakan kuliah. Sebaliknya aktif kuliah, buta dunia kemahasiswaan’ sayang status anda sebagai mahasiswa !! paling tidak anda ‘responsif’ terhadap segala informasi (isu / gagasan) mahasiswa.

(Anonim)

Kajian Stilistika

KAJIAN STILISTIKA: CERPEN “GERHANA MATA”
KARYA DJENAR MAESA AYU

TUGAS MATA KULIAH
APRESIASI PROSA FIKSI










Oleh

Nama        : Abdul Majid Tamum
NIM        : 08121015



PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2012

Cerpen Djenar Maesa Ayu
September 18, 2008, 9:49 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Cerpen Djenar Maesa Ayu (dimuat di Kompas, 05/20/2007)

                    GERHANA MATA


Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.
Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.
Mungkin?
Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.
Mungkin?
Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.***
Jakarta, 2 Oktober 2006 11:06 AM

KAJIAN STILISTIKA: CERPEN “GERHANA MATA”
Karya sastra merupakan sarana yang digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan kisah yang disaksikan, direnungkan dan dirasakan menusia sehari- hari melalui bahasa tulis. Dengan karya sastra kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman, sekaligus mendapatkan hiburan serta penerangan terhadap kehidupan manusia.
A.      PENDAHULUAN
Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990: 218). Bahasa sebagai sistem tanda primer dan sastra dianggap sebagai sistem tanda sekunder menurut istilah Lotman (dalam Teeuw, 1984: 99). Bahasa sebagai sistem tanda primer membentuk model dunia bagi pemakainya, yakni sebagai model yang pada prinsipnya digunakan untuk mewujudkan konseptual manusia di dalam menafsirkan segala sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Selanjutnya, sastra yang menggunakan media bahasa tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa. Dengan kata lain, sebuah karya sastra hanya dapat dipahami melalui bahasa.
Ciri khas sebuah karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan genre-nya, tetapi dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi bahasanya. Khusus dalam kaitan bahasa dalam sastra, pengarang mengeksploitasi potensi-potensi bahasa untuk menyampaikan gagasannya dengan tujuan tertentu. Dengan sudut pandang demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada kekhususan atau keunikan masing-masing pengarang sebagai ciri khasnya yang mungkin merupakan kesengajaan atau invensi pengarang dalam proses kreatifnya (Subroto, 1999: 1). Menurut Aminuddin (1995: 1) gaya merupakan perujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya. Sebagai wujud cara menggunakan kode kebahasaan, gaya merupakan relasional yang berhubungan dengan rentetan kata, kalimat dan berbagai kemungkinan manifestasi kode kebahasaan sebagai sistem tanda. Jadi, gaya merupakan simbol verbal.
Penelitian gaya bahasa yang terdapat dalam kaya sastra sampai saat ini masih jarang dilakukan atau masih sedikit (Pradopo, 2000: 263). Studi gaya bahasa umumnya masuk ke dalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Teks dianggap memiliki nilai yang sama untuk diteliti dari prespektif manapun (Barthes, 1981: 37-38). Dengan demikian, teks mempunyai perlakuan yang sama untuk diinterpretasikan.

B.      RUANG LINGKUP KAJIAN STILISTIKA
Kerancauan yang muncul dari definisi stilistika adalah masalah yang kadang dihadapi oleh mahasiswa yang baru mengenal istilah ini. Sebab stilistika ilmu gaya bahasa yang juga termasuk dalam cabang ilmu linguistik selain ilmu sastra.
Kridalaksana (1982: 157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika. Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Menurut Turner (1977: 7), stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan. Fowier (1987: 237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain.
Umar Junus (1989: xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik. Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik. Lebih lanjut, Umar Junus (1989: xviii) mengusulkan bahwa stilistika itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Menurut Sudjiman (1993: 3) stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya. Stilistika meneniliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.
Secara umum, lingkup telaah stilistika mencangkupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, dan mantra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993: 13). Disamping itu kajian stilitika dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan dalam seperti yang digunakan seperti yang terlihat dalam setruktur lahir. Tanda-tanda kebahasaan itu sendiri dapat berupa unsur fonologi, unsur leksikal, unsur sintaksis, dan unsur bahasa figuratif (Nurgiyantoro, 1995: 280).
Menurut Keraf (2000: 113) mengemukakan bahwa gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga dimensi yaitu, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kaliamat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Sopan santun dalam bahasa berarti kita memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar atau pembaca. Menarik dalam bahasa dapat diukur melalui komponen: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup dan penuh daya khayal imajinasi.
Untuk mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990: 226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan.
Dikemukakan Pradopo (dalam Syarifudin, 2006: 15) aspek gaya bahasa meliputi, bunyi, kata, dan kalimat. Bunyi meliputi asosiasi, alitrasi, pola persajakan, orkestrasi dan iramanya, kata meliputi aspek morfologi, sematik dan etimologi, dan kalimat meliputi gaya kalimat dan sarana retorika.
Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empirik merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
1.    Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
2.    Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu dengan yang lainnya.
3.    Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin, 1995: 42).
4.    Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin, 1995: 98).
Aminuddin (1995: 42-43) mengungkapkan bahwa prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
1.    Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
2.    Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
3.    Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra.

C.      LANDASAN TEORETIS
1.       Diksi
Pemilihan kata mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih dan digunakan oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi (sastra) adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tentunya melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mendapatkan efek yang dikehendaki (Nurgiyantoro, 1995: 290). Pengarang hendaknya mencurakan perasaan dan isi pikirannya dengan setepattepatnya seperti yang dialamai oleh batinnya. Selain itu seharusnya ia mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjilmakan setepatnya. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.
Persoalan diksi dan pilihan kata bukanlah persoalan yang sederhana. Ketepatan pemilihan kata atau diksi untuk mengungkapkan suatu gagasan diharapkan fungsi yang diperoleh akan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Pengarang dari Jawa dengan bahasa Jawa biasanya kurang merasa puas menggunakan istilah bahasa Indonesia untuk kata-kata khas Jawa yang padan kata Indonesia yang kurang tepat sama.
Keraf (2000: 76) mengungkapkan bahwa pilihan kata merupakan hasil yang diperoleh para leksigraf yang berusaha merekam sebuah kata, bukannya menentukan makna sebuah kata supaya digunakan para pemakainya. Istilah diksi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, yang meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Dengan demikian, persoalan diksi sebenarnya jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu, karena tidak sekedar untuk memilih kata-kata mana yang dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi menyangkut masalah frase, gaya bahasa dan uangkapan (Keraf, 2000: 23).
Kata-kata dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah yang bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian, penggunaan kata daerah alih-alih kata Indonesia menjadi sarana pelataran atau sarana penokohan. Latar tempat menjadi lebih berterima, sedangkan tokoh terasa lebih wajar karena warna tempatnya yang ia peroleh (Sudjiman, 1993: 25).
2.       Gaya dan Kalimat
Istilah gaya secara leksikal yang berpadanan dengan style berasal dari bahasa Yunani stylos atau stilus dalam bahasa Latin. Secara umum makna stylos adalah wujud sesuatu, misalnya bentuk arsitektur yang memiliki ciri sesuai dengan karakteristik ruang dan waktu. Sedangkan stilus bermakna alat untuk menulis sesuai dengan cara yang digunakan oleh penulisnya. Pengertian ini memberikan dimensi bentuk dan cara yang menyebabkan istilah style mengandung kategori nomina dan verba (Aminuddin, 1995: 1).
Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982: 49-50).
Menurut Sudjiman (1993: 13) pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Konsep tentang gaya menyatakan bahwa sesungguhnya gaya adalah soal pilihan. Teeuw (1983: 19) mengatakan bahwa ada dua prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra yaitu prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip deviasi atau penyimpangan.
Sebenarnya, prinsip kesepadanan dan prinsip penyimpangan tidak berlaku pada konvensi bahasa, tetapi juga pada konvensi sastra. Jurij Lotman, ahli teori sastra dan semiotikus Rusia yang terkenal, tidak menggunakan insilah prinsip, tetapi estetika: estetika persamaan dan estetika pertentangan (dalam Teeuw, 1983: 26-27).
Enkvist (dalam Junus, 1989: 4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian khasnya, yakni (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5) sekumpulan ciri kolektif, dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada kalimat.
Umumnya beberapa sastrawan mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Mereka sering melakukan penyimpangan dalam membentuk atau menyusun kalimat yang diluar kaidah sebenarnya. Biasanya struktur sintaksis dari suatu kalimat adalah memiliki subyek dan predikat. Tetapi kalimat tersebut dinamai dengan kalimat sederhana atau kalimat dasar, karena hanya memiliki kedua komponen. Kalimat dasar adalah kalimat yang terdiri atas unsur-unsur pokok atau belum mendapat perluasan (Arifin, 2008: 55).
Kalimat dikatakan efektif apabila memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis kalimat itu (Arifin, 2008: 74). Kalimat efektif tidak sekadar menghadirkan subyek, predikat, obyek, dan keterangan. Tetapi juga menghendaki tataran yang lebih tinggi dan luas daripada itu.
Umumnya kalimat majemuk hanya terdiri dari dua atau tiga klausa yang digabungkan menjadi satu. Tetapi kadang kala ada sastrawan yang menyalahi hal tersebut dengan membuat kalimat yang panjang. Bahkan satu kalimat dapat membentuk satu paragraf yang ide gagasannya belum selesai dan masih digunakan untuk paragraf berikutnya. Pembaca juga kadang dibuat kesulitan untuk memahami kalimat tersebut.         Hal tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam tataran gaya kalimat.
3.       Majas
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985: 179). Nurgiyantoro (1995: 297) menyatakan bahwa permajasan adalah (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikir yang terpendam didalam jiwanya. Dengan demukian gaya bahasa dapat membuat karya sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat membuat pembaca bosan.
Majas ada bermacam-macam jenisnya, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu majas tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkanya dengan sesuatu yang lain. Majas dibedakan menjadi empat golongan yaitu majas pertentangan, majas penegasan, majas sindiran, dan majas perbandingan (Syarifudin, 2006: 18-28).

D.      PEMBAHASAN
Analisis stilistika cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu ini dititikberatkan pada pemilihan diksi, yang meliputi penggunaan leksikal bahasa selain bahasa Indonesia serta penggunaan istilah tertentu, penggunaan gaya kalimat, penggunaan majas, dan cara penulisan novel yang terlihat secara lahiriyah.
1.       Diksi
Diksi atau pilihan kata dalam cerpen Gerhana Mata beraneka ragam. Pemanfaatan kata-kata atau memilih kata bertujuan untuk memperoleh keindahan guna menambah daya ekspresivitas. Maka sebuah kata akan lebih jelas, jika pilihan kata tersebut tepat dan sesuai. Ketepatan pilihan kata bertujuan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis atau pembicara dengan pembaca atau pendengar, sedangkan kesesuaian kata bertujuan agar tidak merusak suasana.
Dalam karya sastra penggunaan diksi atau pilihan kata sangat beragam. Hal ini mungkin di sengaja oleh pengarangnya untuk keindahan sastra itu sendiri. Dari sekian banyak novel yang banyak menggunakan diksi (pilihan kata) adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Dalam cerpen ini juga digunakan beberapa istilah yang susah kita pahami namun sangat menggambarkan sesuatu, sehingga akan tanpak sekali cirri atau jenis sastra yang ada pada cerpen tersebut.
Karya sastra terdiri atas beberapa genre (jenis) salah satunya adalah prosa, yang juga disebut fiksi (fiction), dunia dalam kemungkinan, bahkan dunia dalam kata. Hal ini disebabkan “dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Salah satu prosa fiksi tersebut dapat berwujud sebuah cerpen.
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk.  Cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.
Stilistika merupakan ilmu tentang gaya bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari gaya-gaya bahasa. Sebenarnya, penggunaan dari gaya dan ilmu gaya itu secara luas meliputi seluruhaspek kehidupan manusia, bagaimana segala sesuatu dilakukan, dinyatakan, dan diungkapakan. Secara sempit, gaya dan atau ilmu gaya digunakan pada kajian bahasa dan sastra, khususnya cerpen.
Gerhana matahari salah satu cerpen Nai, sebutan Djenar,  yang menyajikan gaya bahasa unik di dalamnya. Ada beberapa gaya bahasa atau majas yang terkandung pada tiap goresan kalimatnya.
Misal dalam cuplikan :
    ..... . Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidaktenangan itu dengan harga listrik .... .
    .... . Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang saya lihat. ....
Dari beberapa poin cuplikan tersebut di atas terdapat  kalimat yang mengandung gaya bahasa Paralelisme. Paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Gaya bahasa ini biasanya digunakan penulis sebagai penekanan makna.
Pada cerpen ini juga terdapat gaya bahasa Hiperbola yang merupakan gaya bahasa  melebih-lebihkan suatu hal. Pada cerpen Gerhana Mata juga ditemukan beberapa gaya bahasa hiperbola, seperti:
    Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
    Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana.
Dengan menyajikan kata buta pada kalimat tersebut di atas, makna yang ditimbulkan akan berbeda. Buta yang dimaksud bukan bermakna tidak bisa melihat melainkan rela melakukan atau menerima resiko apapun.
Selain itu ada gaya bahasa Paradoks dalam cerpen ini, perhatikan beberapa cuplikan di bawah ini:
    Hampir menyerupai pasar yang ingar bingar namun tanpa penerangan.
    Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung  yang  membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat.
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengemukakan hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya tidak karena objek yang dikemukakan berbeda. Terbukti dengan menyajikan dua hal yang berbeda antara pasar dengan peperangan (cuplikan pertama).
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis seperti gaya bahasa Simile. Simile adalah bahasa kiasan yang mennyamakan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan Simile terdapat pada:
    Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.
    .... suara-suara dari luar dunia, seperti suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya......
    Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini selain saya.
Ada juga gaya bahasa Personifikasi. Personifikasi merupakan bahasa kiasan yang mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu terdapat pada:
    .... Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-acungkan telunjukknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir .... .
    .... Saya tidak perlu menutup semua pintu dan tirai dan pintu serta membuat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna.
Perhatikan cuplikan kalimat di bawah ini:
    Saya tidak membutuhkan kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.
    Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata.
    Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia.
Cuplikan dari cerpen di atas  mengandung metafora. Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen Gerhana Mata menambah gairah estetis cerpen tersebut.
Berdasarkan analisis di atas disimpulkan bahwa Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu  mengandung gaya bahasa dan bahasa  kiasan yang terdiri atas  paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan.

Pengertian dan Unsur-Unsur Pendidikan

Seorang calon pendidik hanya dapat melaksanakan tugasnya denga nbaik jika memperoleh jawaban yang jelas dan benar tentang apa yang dimaksud pendidikan. Jawaban yang benar tentang pendidikan diperoleh melalui pemahaman terhadap unsur-unsurnya, konsepdasar yang melandasinya, dan wujud pendidikan sebagi sistem. Bab II ini akan mengkaji pengertian pendidikan,unsur-unsur pendidikan, dan sistem pendidikan.

A.    PENGERTIAN PENDIDIKAN
1.     Batasan tentang Pendidikan
Batasan tentang pendidikan yang dibuat oleh para ahli beraneka ragam, dan kandungannya berbeda yang satu dari yang lain. Perbedaan tersebut mungkin karena orientasinya, konsep dasar yang digunakan, aspek yang menjadi tekanan, atau karena falsafah yang melandasinya.
a.     Pendidikan sebagai Proses transformasi Budaya
Sebagai proses transformasi budaya, pendidikan diartikan sebagai kegiatan pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi yang lain. Nilai-nilai budaya tersebut mengalami proses transformasi dari generasi tua ke generasi muda. Ada tiga bentuk transformasi yaitu nilai-nilai yang masih cocok diteruskan misalnya nilai-nilai kejujuran, rasa tanggung jawab, dan lain-lain.
b.     Pendidikan sebagai Proses Pembentukan Pribadi
Sebagai proses pembentukan pribadi, pendidikan diartikan sebagi suatu kegiatan yang sistematis dan sistemik terarah kepada terbentuknya kepribadian peserta didik. Proses pembentukan pribadi melalui 2 sasaran yaitu pembentukan pribadi bagi mereka yang belum dewasa oleh mereka yang sudah dewasa dan bagi mereka yang sudah dewasa atas usaha sendiri.
c.     Pendidikan sebagai Proses Penyiapan Warganegara
Pendidikan sebagai penyiapan warganegara diartikan sebagai suatu kegiatan yang terencana untuk membekali peserta didik agar menjadi warga negara yang baik.
d.     Pendidikan sebagai Penyiapan Tenaga Kerja
Pendidikan sebagai penyimpana tenaga kerja diartikan sebagai kegiatan membimbing peserta didik sehingga memiliki bekal dasar utuk bekerja. Pembekalan dasar berupa pembentukan sikap, pengetahuan, dan keterampilan kerja pada calon luaran. Ini menjadi misi penting dari pendidikan karena bekerja menjadi kebutuhan pokok dalam kehidupan manusia.
e.     Definisi Pendidikan Menurut GBHN
GBHN 1988(BP 7 pusat, 1990: 105) memberikan batasan tentang pendidikan nasional sebagai berikut: pendidikan nasiaonal yang berakar pada kebudayaan bangsa indonesia dan berdasarkan pancasila serta Undang-Undang Dasar 1945 diarahkan untuk memingkatkan kecerdasan serta dapat memenuhi kebutuhan pembangunan nasional dan bertanggung jawab atas pembangunan bangsa.
2.     Tujuan dan proses Pendidikan
a.     Tujuan pendidikan
Tujuan pendidikan memuat gambaran tentang nilai-nilai yang baik, luhur, pantas, benar, dan indah untuk kehidupan. Pendidikan memiliki dua fungsi yaitu memberikan arah kepada segenap kegiatan pendidikan dazn merupakan sesuatu yang ingin dicapai oleh segenap kegiatan pendidikan.
b.  Proses pendidikan
Proses pendidikan merupakan kegiatan mobilitas segenap komponen pendidikan oleh pendidik terarah kepada pencapaian tujuan pendidikan, Kualitas proses pendidikan menggejala pada dua segi, yaitu kualitas komponen dan kualitas pengelolaannya , pengelolaan proses pendidikan meliputi ruang lingkup makro, meso, mikro. Adapun tujuan utama pemgelolaan proses pendidikan yaitu terjadinya proses belajar dan pengalaman belajar yang optimal.


3.     Konsep Pendidikan Sepanjang Hayat (PSH)
PSH bertumpu pada keyakinan bahwa pendidikan itu tidak identik dengan persekolahan, PSH merupakan sesuatu proses berkesinambungan yang berlangsung sepanjang hidup. Ide tentang PSH yang hampir tenggelam, yang dicetuskan 14 abad yang lalu, kemudian dibangkitkan kembali oleh comenius 3 abad yang lalu (di abad 16). Selanjutnya PSH didefenisikan sebagai tujuan atau ide formal untuk pengorganisasian dan penstrukturan pengalaman pendidikan. Pengorganisasian dan penstruktursn ini diperluas mengikuti seluruh rentangan usia, dari usia yang paling muda sampai paling tua.(Cropley:67)
                   Berikut ini merupakan alasan-alasan mengapa PSH diperlukan:
a.     Rasional
b.     Alasan keadilan
c.     Alasan ekonomi
d.     Alasan faktor sosial yang berhubungan dengan perubahan peranan keluarga, remaja, dan emansipasi wanita dalam kaitannya dengan perkembangan iptek
e.     Alasan perkembangan iptek
f.      Alasan sifat pekerjaan
4.     Kemandirian dalam belajar
a.     Arti dan perinsip yang melandasi
Kemandirian dalam belajar diartikan sebagai aktivitas belajar yang berlangsungnya lebih didorong oleh kamauan sendiri, pilihan sendiri, dan tanggung jawab sendiri dari pembelajaran. Konsep kemandirian dalam belajar bertumpu pada perinsip bahwa individu yang belajar akan sampai kepada perolehan hasil belajar.
b.     ¬Alasan yang menopang
Conny Semiawan, dan kawan-kawan (Conny S. 1988; 14-16) mengemukakan alasan sebagai berikut:
      Perkembangan iptek berlangsung semakin pesat sehingga tidak mungkin lagi para pendidik(khususnya guru) mengajarkan semua konsep dan fakta kepada peserta didik.
      Penemuan iptek tidak mutlak benar 100%, sifatnya relatif.
      Para ahli psikologi umumnya sependapat, bahwa peserta didik mudah memahami konsep-konsep yang rumit dan abstrak jika disertai dengan contoh-contoh konkret dan wajar sesuai dengan situasi dan kondidi yang dihadapi dengan mengalami atau mempraktekannya sendiri.
      Dalam proses pendidikan dan pembelajaran pengembangan konsep seyogyanya tidak dilepaskan dari pengembangan sikap dan penanaman nilai-nilai ke dalam diri peserta didik.
B.    UNSUR-UNSUR PENDIDIKAN
Proses pendidikan melibatkan banyak hal yaitu:
1.     Subjek yang dibimbing (peserta didik).
2.     Orang yang membimbing (pendidik)
3.     Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
4.     Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
5.     Pengaruh yang diberikan dalam bimbingan (materi pendidikan)
6.     Cara yang digunakan dalam bimbingan (alat dan metode)
7.     Tempat dimana peristiwa bimbingan berlangsung (lingkungan pendidikan)
Penjelasan:
1.     Peserta Didik
Peserta didik berstatus sebagai subjek didik. Pandangan modern cenderung menyebutkan demikian oleh karena peserta didik adalah subjek atau pribadi yang otonom, yang ingin diakui keberadaannya.
Ciri khas peserta didik yang perlu dipahami oleh pendidik ialah:
a.     Individu yang memiliki potensi fisik dan psikis yang khas, sehingga merupakan insan yang unik.
b.     Individu yang sedang berkembang.
c.     Individu yang membutuhkan bimbingan individual dan perlakuan manusiawi.
d.     Individu yang memiliki kemampuan untuk mandiri.  
2.     Orang yang membimbing (pendidik)
Yang dimaksud pendidik adalah orang yang bertanggung jawab terhadap pelaksanaan pendidikan dengan sasaran peserta didik. Peserta didik mengalami pendidikannya dalam tiga lingkunga yaitu lingkungankeluarga, lingkungan sekolah, dan lingkungan masayarakat. Sebab itu yang bertanggung jawab terhadap pendidikan ialah orang tua, guru, pemimpin program pembelajaran, latihan, dan masyarakat.
3.     Interaksi antara peserta didik dengan pendidik (interaksi edukatif)
Interaksi edukatif pada dasarnya adalah komunikasi timbal balik antara peserta didik dengan pendidik yang terarah kepada tujuan pendidikan. Pencapaian tujuan pendidikan secara optimal ditempuh melalui proses berkomunikasi intensif dengan manipulasi isi, metode, serta alat-alat pendidikan.
4.     Ke arah mana bimbingan ditujukan (tujuan pendidikan)
a.     Alat dan Metode
Alat dan metode diartikan sebagai segala sesuatu yang dilakukan ataupun diadakan dengan sengaja untuk mencapai tujuan pendidikan. Secara khusus alat melihat jenisnya sedangkan metode melihat efisiensi dan efektifitasnya. Alat pendidikan dibedakan atas alat yang preventif dan yang kuratif.
b.     Tempat Peristiwa Bimbingan Berlangsung (lingkungan pendidikan)
Lingkungan pendidikan biasanya disebut tri pusat pendidikan yaitu keluarga, sekolah dan masyarakat.
C.    PENDIDIKAN SEBAGAI SISTEM
1.     Pengertian Sistem
Beberapa definisi sitem menurut para ahli:
a.     Sistem adalah suatu kebulatan keseluruhan yang kompleks atau terorganisir; suatu himpunan atau perpaduan hal-hal atau bagian-bagian yang membentuk suatu kebulatan/keseluruhan yang kompleks atau utuh. (Tatang M. Amirin, 1992:10)
b.     Sistem meruapakan himpunan komponen yang saling berkaitan yang bersama-sama berfungsi untuk mencapai suatu tujuan. (Tatang Amirin, 1992:10)
c.     Sistem  merupakan sehimpunan komponen atau subsistem yang terorganisasikan dan berkaitan sesuai rencana untuk mencapai suatu tujuan tertentu. (Tatang Amirin, 1992:11)

2.     Komponen dan Saling Hubungan antara Komponen dalam Sistem Pendidikan.
Pendidikan sebagai sebuah sistem terdiri dari sejumlah komponen. Komponen tersebut antara lain: raw input (sistem baru), output(tamatan), instrumentalinput(guru, kurikulum), environmental input(budaya, kependudukan, politik dan keamanan).

3.     Hubungan Sistem Pendidikan dengan Sitem Lain dan Perubahan Kedudukan dari Sistem
Sistem pendidikan dapat dilihat dalam ruang lingkup makro. Sebagai subsistem, bidang ekonomi, pendidikan,dan politik masing-masing-masing sebagai sistem. Pendidikan formal, nonformal, dan informal merupakan subsistem dari  bidang pendidikan sebagai sistem dan seterusnya.

4.     Pemecahan masalah pendidikan secara sistematik.
a.     Cara memandang sistem
Perubahan cara memandang suatu status dari komponen menjadi sitem ataupunsebaliknya suatu sitem menjadi komponen dari sitem yang lebih besar, tidak lain daripada perubahan cara memandang ruang lingkup suatu sitem atau dengan kata lain ruang lingkup suatu permasalahan.
b.     Masalah berjenjang
Semua masalah tersebut satu sama lain saling berkaitan dalam hubungan sebab akibat, alternatif maslah, dan latar belakang masalah.
c.     Analisis sitem pendidikan
Penggunaan analisis sistem dalam pendidikan dimaksudkan untuk memaksimalkan pencapaian tujuan pendidikan dengan cara yang efesien dan efektif. Prinsip utama dari penggunaan analisis sistem ialah: bahwa kita dipersyaratkan untuk berpikir secra sistmatik, artinya harus memperhitungkan segenap komponen yang terlibat dalam maslah pendidikan yang akan dipecahkan.
d.     Saling  hubungan antarkomponen
Komponen-komponen yang baik menunjang terbentuknya suatu sistem yang baik. Tetapi komponen yang baik saja belum menjamin tercapainya tujuan sistem secara optimal, manakala komponen tersebut tidak berhibungan secra fungsional dengan komponen lain.
e.     ¬Hubungan sitem dengan suprasistem
Dalam ruang lingkup besar terlihat pula sistem yang satu saling berhubungan dengan sistem yang lain. Hal ini wajar, oleh karena pada dasarnya setiap sistem itu hanya merupakan satu aspek dari kehidupan. Sdangkan segenap segi kehidupan itu kita butuhkan, sehingga semuanya memerlukan pembinaandan pengembangan.


5.     Keterkaitan antara pengajaran dan pendidikan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari persoalan pengajaran dan pendidikan adalah:
a.     pengajaran dan pendidikan dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Masing-masing saling mengisis.
b.     Pembedaan dilakukan hanya untuk kepentingan analisis agar masing-masing dapat dipahami lebih baik.
c.     Pendidikan modern lebih cenderung mengutamakan pendidikan, sebab pendidikan membentuk wadah, sedangkan pengajaran mengusahakan isinya. Wadah harus menetap meskipun isi bervariasi dan berubah.

6.     Pendidikan prajabatan (preservice education) dan pendidikan dalam jabatan (inservice education) sebagai sebuah sistem.
Pendidikan prajabatan berfungsi memberikan bekal secara formal kepada calon pekerja dalam bidang tertentu dalam periode waktu tertentu. Sedangkan pendidikan dalam jabatan bermaksud memberikan bekal tambahan kepada oramg-orang yang telah bekerja berupa penataran, kursus-kursus, dan lain-lain. Dengan kata lain pendidikan prajabatan hanya memberikan bekal dasar, sedangkan bekal praktis yang siap pakai diberikan oleh pendidikan dalam jabatan.

7.     Pendidikan formal, non-formal, dan informal sebagai sebuah sistem.
Pendidikan formal yang sering disebut pendidikan persekolahan, berupa rangkaian jenjang pedidikan yang telah baku, misalnya SD,SMP,SMA, dan PT. Pendidikan nonformal lebih difokuskan pada pemberian keahlian atau skill guna terjun ke masyarakat. Pendidikan informal adalah suatu fase pendidikan yang berada di samping pendidikan formal dan nonformal.
¬Dapat disimpulkan bahwa pendidikan formal, nonformal, dan informal ketiganya hanya dapat dibedakan tetapi sulit dipisah-pisahkan karena keberhasilan pendidikan dalam arti terwujudnya keluaran pendidikan yang berupa sumberdaya manusia sangat bergantung kepada sejauh mana ketiga sub-sistem tersebut berperanan.

Sumber Bacaan: Tirtarahardja, Umar dan S.L. La Sulo. 2005. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta

KAMI INGIN PERUBAHAN

Ketika kita mendengar istilah pendidikan, tentu yang terbasit di dalam pikiran kita adalah tentang pengajaran (proses belajar mengajar). Tak hanya itu kita juga dituntut untuk merefleksi bagaimana prose situ berlangsung. Yang saya maksud di sini yaitu, bagaimana konsistensi pembelajaran itu berlangsung?. Tak heran jika akhir-akhir ini sering terjdi polemic di antar subjektifitas dan objektifitas pengnsumsi pendidikan, diantaranya yang dialami di Kampus kiita Universitas Muhammadiya Surabaya khususnya Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia Di sini saya tidak akan muluk-muluk dalam mengutarakan perspektif saya terhadap dinamika pembelajaran yang ada di dalamnya (Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia).
Sudah menjadi kewajiban kita sebagai mahasiswa untuk menyuarakan bagaimana keadilan yang harus diperoleh sebagai objek pendidikan. Oleh karena itu marilah kita bersikap kritis pada keadaan realitas ini, tentunya gunakan legitimasi objektif untuk perubahan. Karena tugas yang seharusnya diimplementasikan dengan professional sudah tidak lagi  benar. Maka dari itu saya mengjak teman-teman untuk mulai membuka kaca mata hitam kita, pandang semuanya dengan seksama. Tugas kita tidak hanya duduk, belajar, pulang, dan mengerjakan tugas yang diberikannya. Akan tetapi masih ada esensi-esensi yang berjalan di tataran kelogisan yang perlu kita benahi bersama. Salah satunya temukan dan tentukan keprofesionalan para jajaran pendidik kita.
Kalau boleh jujur saya prihatin dengan kondisi sekarang, kalau terus-terusan seperti ini, saya tidak yakin kita yang sudah selesai sebagai mahasiswa akan siap menjadi pendidik. Maka dari itu, tolong sadarkan diri kita dan mereka. Kita memunyai hak yang sama dalam menikmati pendidikan ini.
Terakhir, marilah kita bersatu kepalkan tangan dan angkat ke atas, serta teriakkan KAMI INGIN PERUBAHAN…….

Tongkat Melayang

   
1.    Setiap kelompok menerima sebuah tongkat panjang
2.    Anggota kelompok menyusun dua barisan yang saling berhadapan dan mengacungkan jari telunjuk. Tongkat diletakkan di atas jari telunjuk.
3.    Aturan: Pastikan bahwa jari tangan setiap orang menyentuh tongkat.
4.    Tantangan: bersama-sama membawa tongkat mendekati permukaan tanah dan kembali ke atas (posisi tubuh berdiri) dilakukan beberapa kali.
5.    Jika tongkat terjatuh, atau salah seorang jari tangannya tidak menyentuh tongkat, permainan harus dimulai dari awal.
6.    Jika telah selesai, jawablah tugas-tugas yang telah disediakan.

Catatan:  Salah satu anggota kelompok bertindak sebagai pengamat dan mencatat hal-hal yang terjadi dalam permainan.
Tugas Diskusi:

1.    Seberapa sukses kelompok anda dapat memenuhi tantangan-tantangan dalam permainan ini? Jelaskan.




2.    Hal-hal apa sajakah yang harus dilakukan oleh kelompok (juga anggota kelompok) agar sukses dalam memenuhi tantangan permainan ini?







3.    Sebutkanlah situasi di sekolah yang memiliki kemiripan dengan konteks permainan ini, jelaskan hikmah yang kita peroleh melalui permainan ini untuk peningkatan kinerja di sekolah.

Titanic

o    Tujuan :
•    Membangun kerjasama yang baik antar anggota kelompok
•    Menanamkan sikap percaya diri
•    Membina keutuhan kelompok
•    Membina komunikasi efektif (verbal dan non verbal)

o    Alat :
•    5 helai kain 1 m2
•    Peluit

o    Pelaksanaan :
•    Setiap anggota kelompok harus memasuki kain seluas 1 meter persegi
•    Setiap kelmpok harus berusaha memperkecil luas kain tetapi semua anggota kelompok
•    Kelompok yang berhasil menampung semua anggotanya dan luasannya terkecil dalam waktu 2 menit, maka ia akan jadi pemenang.
 
Copyright Majid T Dhuro © 2010 - All right reserved - Using Abdul Majid Tamum
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.