Karakter Sinopsis Film Gaya Hidup
lamongan Bojonegoro Tuban Gersik Ngawi
tes sd-sma MTK,B.INDO,B.ing tes sd-sma-smk B.ing tes psikometrika tes ipa
pakde nono Resto Romantis di Jkt Hokben Delivery Bakmi GM Delivery PHD - Pizza Hut
Lirik Lagu Sinopsis Film Gaya Hidup
Liputan 6 berita jakarta Gaya Hidup

Selasa, 03 April 2012

Kajian Stilistika

KAJIAN STILISTIKA: CERPEN “GERHANA MATA”
KARYA DJENAR MAESA AYU

TUGAS MATA KULIAH
APRESIASI PROSA FIKSI










Oleh

Nama        : Abdul Majid Tamum
NIM        : 08121015



PRODI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURABAYA
2012

Cerpen Djenar Maesa Ayu
September 18, 2008, 9:49 am
Filed under: Gang Rumah Para Cerpenis
Cerpen Djenar Maesa Ayu (dimuat di Kompas, 05/20/2007)

                    GERHANA MATA


Malam selalu memberi ketenangan. Banyak kenangan yang begitu mudah dikais dalam ruang-ruang kegelapan. Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-ngacungkan telunjuknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir, di atas pembaringan tanpa kekasih yang tak akan hadir.
Banyak orang yang begitu takut pada malam. Pada gelap. Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba. Membuat jantung mereka berdegup lebih kencang. Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidak-tenangan itu dengan harga listrik walaupun harganya semakin tinggi menjulang.
Tapi saya selalu merasa malam memberi ketenangan. Semakin gelap semakin ramai. Hampir menyerupai pasar malam yang ingar bingar namun tanpa penerangan. Sehingga saya tak pernah merasa ketakutan. Tak pernah merasa tak tenang. Sepanjang mata memandang, hanyalah kegelapan. Tubuh kelihatan amat samar. Namun, suara-suara begitu jelas terdengar. Begitu dekat. Sedemikian dekat sehingga aroma napas si empunya suara itu di hidung terasa melekat. Mata saya mulai merapat, semakin gelap, semakin semuanya akhirnya begitu terang terlihat.
Mungkin karena itulah saya begitu membutuhkan cinta. Seperti malam. Seperti gelap. Cinta pun membutakan. Saya tidak butuh kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala. Saya tidak perlu menutup semua tirai dan pintu serta menyumbat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna. Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata. Orang-orang menamakannya cinta buta. Apa pun namanya saya tidak peduli. Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang ingin saya lihat. Dan hanya ialah yang saya ingin lihat, sang kekasih bak lentera benderang dalam kegulitaan pandangan mata saya. Dari sinarnyalah saya mendapatkan siang yang kami habiskan di ranjang-ranjang pondok penginapan. Saling menatap seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bertatapan. Saling menyentuh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling bersentuhan. Dan melenguh seakan hanya siang itu hari terakhir kami bisa saling mengeluarkan lenguhan.
Di saat-saat seperti itu, di kebutaan seperti itu, saya tak perlu meraba-raba. Tak pernah ada waktu untuk berpikir apa yang akan terjadi di hari esok. Apakah benar masih ada hari esok. Atau apakah masih perlu akan hari esok. Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia, seperti suara-suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya, namun dengan seketika gerhana mata bekerja. Suara-suara ponsel yang mengganggu itu berubah menjadi suara lagu. Lembut mendayu-dayu. Tak saya sadari lagi ketika tubuhnya pelan-pelan memisah dan menjauh. Tak terdengar suaranya yang sengaja dibuat lirih ketika menjawab panggilan telepon dan mengatakan kalau ia sedang tidak ingin diganggu dengan alasan penyakit lambungnya tengah kambuh. Saya tetap merasakan tubuhnya melekat. Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung yang membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat. Saya masih melihat matanya sedang menatap. Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini yang berarti kecuali saya. Tidak ada apa pun di dunia ini yang lebih penting dari saya. Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana. Semakin kabur. Semakin dalam ke muara cinta tubuh ini tercebur.
Kami hanya bertemu kala siang. Kala api rindu sudah semalaman memanggang. Kala segala garis maupun lekukan amat nyata terlihat dengan mata telanjang. Segala garis maupun lekukan itu selalu diikuti bayang-bayang. Dan dalam bayang-bayang itulah kami betemu dan bersatu. Di sanalah kami saling menjamu keinginan antara satu dengan yang satu.
Banyak yang mempertanyakan. Kenapa saya bertemu hanya kala siang? Kenapa tidak pagi atau malam? Karena buta, saya bilang. Dalam kebutaan saya bisa mengadakan apa pun yang saya inginkan. Tak terkecuali pagi. Tak terkecuali malam.
Banyak yang tambah mempertanyakan. Kenapa harus buta? Kenapa tidak menggunakan mata asli demi melihat pagi asli atau malam asli. Kenapa harus menciptakan buta yang tak asli? Karena cinta, saya bilang. Dalam cinta saya bisa merasakan segala sesuatunya asli, walaupun di kala pagi dan malam yang tak asli.
Terus terang, saya tidak pernah dapat memastikan apakah pertanyaan-pertanyaan itu asli. Kadang saya merasa pertanyaan-pertanyaan itu tidak datang dari orang-orang, melainkan datang dari diri saya sendiri. Sehingga saya pun tak dapat memastikan apakah jawaban saya asli. Karena tidak mungkin sesuatu yang asli lahir dari yang tak asli.
Namun lagi-lagi perasaan ini terasa asli. Walaupun kami hanya bertemu kala siang, atau kala pagi dan malam yang tak asli. Kalimat di bungkus kondom “ASLI, SERATUS PERSEN ANTI BOCOR” yang kami robek sebelum bercinta pun asli. Hangat kulitnya yang tak berjarak. Gerakan tubuhnya yang sebentar menarik sebentar menghentak. Bunyi ranjang berderak. Jantung keras berdetak. Suara yang semakin lama semakin serak, adalah asli. Membuat saya selalu merasa tak pernah cukup dan ingin mengulanginya kembali.
Saya tahu, saya akan bisa mengulanginya lagi. Tapi dengan satu konsekuensi. Harus mengerti statusnya sebagai laki-laki beristri. Bertemu kala siang, bukan kala pagi atau malam hari. Kala siang dengan durasi waktu yang amat sempit. Bukan kala pagi atau malam hari yang terasa amat panjang dalam penantian dan rindu yang mengimpit. Membuat saya kerap merasa terjepit. Antara lelah dan lelah. Antara pasrah dan pasrah. Saya terjebak dan berputar-putar pada dua pilihan yang sama. Saya jatuh cinta.
Andai saja saya bisa mendepak cinta dan menghadirkan logika, mungkin tak akan seperti ini saya tak berdaya. Mungkin suara-suara yang kerap menghantui dengan pertanyaan dan jawaban akan lain bunyinya. Mungkin malam akan membuat saya takut. Dan dengan tubuh lain ke dalam selimut saya akan beringsut. Juga tak akan ada siang di mana saya meradang dan menggelepar atas tubuh yang menyentuh di atas seprai kusut lantas terhenti oleh dering panggilan ponsel yang membuat satu-satunya fungsi pada tubuhnya yang mempersatukan tubuh kami jadi menciut.
Mungkin?
Mungkin satu saat nanti ia akan mengalami gerhana mata seperti saya. Dan kami bisa tinggal dalam satu dunia yang sama. Tak bertemu hanya kala siang. Tak menunggu kala pagi dan malam. Tak ada pertanyaan mengapa hanya bertemu kala siang. Bukan kala pagi atau malam. Tak ada jawaban karena cinta membutakan saya. Diganti dengan jawaban, karena cinta telah membutakan kami berdua.
Mungkin?
Enam tahun sudah waktu bergulir. Sejak kemarin, di jari manis kanan saya telah melingkar cincin dengan namanya terukir. Dalam kegelapan malam kedua mata ini menumpahkan air. Di atas pembaringan tanpa suami yang tetap tak akan hadir.***
Jakarta, 2 Oktober 2006 11:06 AM

KAJIAN STILISTIKA: CERPEN “GERHANA MATA”
Karya sastra merupakan sarana yang digunakan oleh pengarang untuk mengungkapkan kisah yang disaksikan, direnungkan dan dirasakan menusia sehari- hari melalui bahasa tulis. Dengan karya sastra kita dapat memperoleh pengetahuan dan pemahaman, sekaligus mendapatkan hiburan serta penerangan terhadap kehidupan manusia.
A.      PENDAHULUAN
Sastra dan bahasa merupakan dua bidang yang tidak dapat dipisahkan. Hubungan antara sastra dengan bahasa bersifat dialektis (Wellek dan Warren, 1990: 218). Bahasa sebagai sistem tanda primer dan sastra dianggap sebagai sistem tanda sekunder menurut istilah Lotman (dalam Teeuw, 1984: 99). Bahasa sebagai sistem tanda primer membentuk model dunia bagi pemakainya, yakni sebagai model yang pada prinsipnya digunakan untuk mewujudkan konseptual manusia di dalam menafsirkan segala sesuatu baik di dalam maupun di luar dirinya. Selanjutnya, sastra yang menggunakan media bahasa tergantung pada sistem primer yang diadakan oleh bahasa. Dengan kata lain, sebuah karya sastra hanya dapat dipahami melalui bahasa.
Ciri khas sebuah karya sastra tidak saja dilihat berdasarkan genre-nya, tetapi dapat pula dilihat melalui konvensi sastra maupun konvensi bahasanya. Khusus dalam kaitan bahasa dalam sastra, pengarang mengeksploitasi potensi-potensi bahasa untuk menyampaikan gagasannya dengan tujuan tertentu. Dengan sudut pandang demikian dapat dikatakan bahwa sebenarnya ada kekhususan atau keunikan masing-masing pengarang sebagai ciri khasnya yang mungkin merupakan kesengajaan atau invensi pengarang dalam proses kreatifnya (Subroto, 1999: 1). Menurut Aminuddin (1995: 1) gaya merupakan perujudan penggunaan bahasa oleh seorang penulis untuk mengemukakan gambaran, gagasan, pendapat, dan membuahkan efek tertentu bagi penanggapnya sebagaimana cara yang digunakannya. Sebagai wujud cara menggunakan kode kebahasaan, gaya merupakan relasional yang berhubungan dengan rentetan kata, kalimat dan berbagai kemungkinan manifestasi kode kebahasaan sebagai sistem tanda. Jadi, gaya merupakan simbol verbal.
Penelitian gaya bahasa yang terdapat dalam kaya sastra sampai saat ini masih jarang dilakukan atau masih sedikit (Pradopo, 2000: 263). Studi gaya bahasa umumnya masuk ke dalam dua bidang kajian yakni linguistik dan sastra. Teks dianggap memiliki nilai yang sama untuk diteliti dari prespektif manapun (Barthes, 1981: 37-38). Dengan demikian, teks mempunyai perlakuan yang sama untuk diinterpretasikan.

B.      RUANG LINGKUP KAJIAN STILISTIKA
Kerancauan yang muncul dari definisi stilistika adalah masalah yang kadang dihadapi oleh mahasiswa yang baru mengenal istilah ini. Sebab stilistika ilmu gaya bahasa yang juga termasuk dalam cabang ilmu linguistik selain ilmu sastra.
Kridalaksana (1982: 157), dalam Kamus Linguistik, memberikan batasan stilistika. Menurutnya, stilistika adalah (1) ilmu yang menyelidiki bahasa yang dipergunakan dalam karya sastra; ilmu interdispiliner antara linguistik dan kesusastraan (2) penerapan lingustik pada penelitian gaya bahasa. Menurut Turner (1977: 7), stilistika adalah bagian dari linguistik yang memusatkan perhatiannya pada variasi penggunaan bahasa, terutama dalam kesusastraan. Fowier (1987: 237) mengatakan bahwa stilistika merupakan cabang dari studi sastra. Menurutnya, para ahli mengatakan bahwa stilistik meneliti sastra pada aspek bahasanya, yakni imaji, stuktur suara, sintaksis, dan lain-lain.
Umar Junus (1989: xvii) mengatakan bahwa hakikat stilistika adalah pemakaian dan penggunaannya dalam karya sastra, tetapi kemunculannya sudah ada dalam linguistik. Menurutnya, stilistika dipakai sebagai gabungan, yakni ilmu sastra dan ilmu linguistik. Lebih lanjut, Umar Junus (1989: xviii) mengusulkan bahwa stilistika itu menjadi ilmu yang berdiri sendiri, terlepas dari linguistik ataupun sastra.Stilistika adalah ilmu tentang gaya bahasa. Menurut Sudjiman (1993: 3) stilistika mengkaji cara sastrawan memanipulasi atau memanfaatkan unsur dan kaidah yang terdapat dalam bahasa dan efek apa yang ditimbulkan oleh penggunanya. Stilistika meneniliti ciri khas penggunaan bahasa dalam wacana sastra.
Secara umum, lingkup telaah stilistika mencangkupi diksi atau pilihan kata (pilihan leksikal), struktur kalimat, majas, citraan, pola rima, dan mantra yang digunakan seorang sastrawan atau yang terdapat dalam karya sastra (Sudjiman, 1993: 13). Disamping itu kajian stilitika dilakukan dengan mengkaji berbagai bentuk dan tanda-tanda kebahasaan yang digunakan dalam seperti yang digunakan seperti yang terlihat dalam setruktur lahir. Tanda-tanda kebahasaan itu sendiri dapat berupa unsur fonologi, unsur leksikal, unsur sintaksis, dan unsur bahasa figuratif (Nurgiyantoro, 1995: 280).
Menurut Keraf (2000: 113) mengemukakan bahwa gaya bahasa yang baik harus mengandung tiga dimensi yaitu, kejujuran, sopan santun, dan menarik. Kejujuran dalam bahasa berarti kita mengikuti aturan-aturan, kaidah-kaidah yang baik dan benar dalam berbahasa. Pemakaian kata yang kabur dan tak terarah, serta penggunaan kaliamat yang berbelit-belit adalah jalan untuk mengundang ketidakjujuran. Sopan santun dalam bahasa berarti kita memberi penghargaan atau menghormati orang yang diajak berbicara, khususnya pendengar atau pembaca. Menarik dalam bahasa dapat diukur melalui komponen: variasi, humor yang sehat, pengertian yang baik, tenaga hidup dan penuh daya khayal imajinasi.
Untuk mengkaji karya sastra dari sudut stilistika, ada dua kemungkinan dalam mendekatinya. Pertama, studi stilistika dilakukan dengan cara menganalisis sistem linguistik karya sastra dan dilanjutkan dengan menginterpretasi ciri-cirinya, dilihat dari tujuan estetis karya sastra sebagai makna yang penuh. Kedua, penelitian stilistika ini dilakukan dengan mengamati variasi dan distorsi terhadap pemakian bahasa yang normal dan menemukan tujuan estetisnya (Wellek dan Warren, 1990: 226). Dari kedua pendekatan tersebut terlihat perbedaan letak pijakannya. Namun, kedua pendekatan tersebut pada hakikatnya tidaklah saling bertentangan.
Dikemukakan Pradopo (dalam Syarifudin, 2006: 15) aspek gaya bahasa meliputi, bunyi, kata, dan kalimat. Bunyi meliputi asosiasi, alitrasi, pola persajakan, orkestrasi dan iramanya, kata meliputi aspek morfologi, sematik dan etimologi, dan kalimat meliputi gaya kalimat dan sarana retorika.
Kajian stilistika merupakan bentuk kajian yang menggunakan pendekatan obyektif. Dinyatakan demikian karena ditinjau dari sasaran kajian dan penjelasan yang dibuahkan, kajian stilistika merupakan kajian yang berfokus pada wujud penggunaan sistem tanda dalam karya sastra yang diperoleh secara rasional-empirik dapat dipertanggung jawabkan. Landasan empirik merujuk pada kesesuian landasan konseptual dengan cara kerja yang digunakan bila dihubungkan dengan karakteristik fakta yang dijadikan sasaran kajian.
Pada apresiasi sastra, analisis kajian stilistika digunakan untuk memudahkan menikmati, memahami, dan menghayati sistem tanda yang digunakan dalam karya sastra yang berfungsi untuk mengetahui ungkapan ekspresif yang ingin diungkapkan oleh pengarang. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan tentang analisis yang dilakukan apresiasi sastra meliputi :
1.    Analisis tanda baca yang digunakan pengarang.
2.    Analisis hubungan antara sistem tanda yang satu dengan yang lainnya.
3.    Kaitannya dengan kritik sastra, kajian stilistika digunakan sebagai metode untuk menghindari kritik sastra yang bersifat impesionistis dan subyektif. Melalui kajian stilistika ini diharapkan dapat memperoleh hasil yang memenuhi kriteria obyektifitas dan keilmiahan (Aminuddin, 1995: 42).
4.    Analisis kemungkinan terjemahan satuan tanda yang ditentukan serta kemungkinan bentuk ekspresi yang dikandungnya (Aminuddin, 1995: 98).
Aminuddin (1995: 42-43) mengungkapkan bahwa prosedur analisis yang digunakan dalam kajian stilistika, diantaranya :
1.    Analisis aspek gaya dalam karya sastra.
2.    Analisis aspek-aspek kebahasaan seperti manipulasi paduan bunyi, penggunaan tanda baca dan cara penulisan.
3.    Analisis gagasan atau makna yang dipaparkan dalam karya sastra.

C.      LANDASAN TEORETIS
1.       Diksi
Pemilihan kata mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih dan digunakan oleh pengarang. Mengingat bahwa karya fiksi (sastra) adalah dunia dalam kata, komunikasi dilakukan dan ditafsirkan lewat kata-kata. Pemilihan kata-kata tentunya melalui pertimbangan-pertimbangan tertentu untuk mendapatkan efek yang dikehendaki (Nurgiyantoro, 1995: 290). Pengarang hendaknya mencurakan perasaan dan isi pikirannya dengan setepattepatnya seperti yang dialamai oleh batinnya. Selain itu seharusnya ia mengekspresikannya dengan ekspresi yang dapat menjilmakan setepatnya. Pemilihan kata dalam hal itu disebut dengan diksi.
Persoalan diksi dan pilihan kata bukanlah persoalan yang sederhana. Ketepatan pemilihan kata atau diksi untuk mengungkapkan suatu gagasan diharapkan fungsi yang diperoleh akan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Pengarang dari Jawa dengan bahasa Jawa biasanya kurang merasa puas menggunakan istilah bahasa Indonesia untuk kata-kata khas Jawa yang padan kata Indonesia yang kurang tepat sama.
Keraf (2000: 76) mengungkapkan bahwa pilihan kata merupakan hasil yang diperoleh para leksigraf yang berusaha merekam sebuah kata, bukannya menentukan makna sebuah kata supaya digunakan para pemakainya. Istilah diksi digunakan untuk menyatakan kata-kata yang dipakai untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, yang meliputi persoalan, fraseologi, gaya bahasa dan ungkapan. Dengan demikian, persoalan diksi sebenarnya jauh lebih luas dari apa yang dipantulkan oleh jalinan kata-kata itu, karena tidak sekedar untuk memilih kata-kata mana yang dipilih untuk mengungkapkan suatu ide atau gagasan, tetapi menyangkut masalah frase, gaya bahasa dan uangkapan (Keraf, 2000: 23).
Kata-kata dari bahasa daerah sering digunakan dalam karya sastra yang berlatar tempat daerah yang bersangkutan atau tokohnya berasal dari daerah tertentu. Dengan demikian, penggunaan kata daerah alih-alih kata Indonesia menjadi sarana pelataran atau sarana penokohan. Latar tempat menjadi lebih berterima, sedangkan tokoh terasa lebih wajar karena warna tempatnya yang ia peroleh (Sudjiman, 1993: 25).
2.       Gaya dan Kalimat
Istilah gaya secara leksikal yang berpadanan dengan style berasal dari bahasa Yunani stylos atau stilus dalam bahasa Latin. Secara umum makna stylos adalah wujud sesuatu, misalnya bentuk arsitektur yang memiliki ciri sesuai dengan karakteristik ruang dan waktu. Sedangkan stilus bermakna alat untuk menulis sesuai dengan cara yang digunakan oleh penulisnya. Pengertian ini memberikan dimensi bentuk dan cara yang menyebabkan istilah style mengandung kategori nomina dan verba (Aminuddin, 1995: 1).
Gaya bahasa sendiri adalah (1) pemanfaatan kekayaan bahasa oleh seseorang dalam bertutur dan menulis, (2) pemakaian ragam tertentu untuk memperoleh efek tertentu, (3) keseluruhan ciri bahasa sekelompok penulis sastra (Kridalaksana, 1982: 49-50).
Menurut Sudjiman (1993: 13) pusat perhatian stilistika adalah style, yaitu cara yang digunakan seorang pembicara atau penulis untuk menyatakan maksudnya dengan menggunakan bahasa sebagai sarana. Sesungguhnya gaya bahasa terdapat dalam segala ragam bahasa, karena gaya bahasa adalah cara menggunakan bahasa dalam konteks tertentu oleh orang tertentu untuk maksud tertentu. Akan tetapi, secara tradisional gaya bahasa selalu ditautkan dengan teks sastra, khususnya teks sastra tertulis.
Konsep tentang gaya menyatakan bahwa sesungguhnya gaya adalah soal pilihan. Teeuw (1983: 19) mengatakan bahwa ada dua prinsip universal utama yang berfungsi dalam kode bahasa sastra yaitu prinsip ekuivalensi atau kesepadanan dan prinsip deviasi atau penyimpangan.
Sebenarnya, prinsip kesepadanan dan prinsip penyimpangan tidak berlaku pada konvensi bahasa, tetapi juga pada konvensi sastra. Jurij Lotman, ahli teori sastra dan semiotikus Rusia yang terkenal, tidak menggunakan insilah prinsip, tetapi estetika: estetika persamaan dan estetika pertentangan (dalam Teeuw, 1983: 26-27).
Enkvist (dalam Junus, 1989: 4) mengatakan bahwa gaya bahasa ada enam pengertian khasnya, yakni (1) bungkus yang membungkus inti pemikiran yang telah ada sebelumnya, (2) pilihan antara berbagai pernyataan yang mungkin, (3) sekumpulan ciri pribadi, (4) penyimpangan norma atau kaidah, (5) sekumpulan ciri kolektif, dan (6) hubungan antarsatuan bahasa yang dinyatakan dalam teks yang lebih luas dari pada kalimat.
Umumnya beberapa sastrawan mempunyai ciri khas sendiri-sendiri. Mereka sering melakukan penyimpangan dalam membentuk atau menyusun kalimat yang diluar kaidah sebenarnya. Biasanya struktur sintaksis dari suatu kalimat adalah memiliki subyek dan predikat. Tetapi kalimat tersebut dinamai dengan kalimat sederhana atau kalimat dasar, karena hanya memiliki kedua komponen. Kalimat dasar adalah kalimat yang terdiri atas unsur-unsur pokok atau belum mendapat perluasan (Arifin, 2008: 55).
Kalimat dikatakan efektif apabila memiliki kemampuan untuk memunculkan gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada dalam pikiran pembicara atau penulis kalimat itu (Arifin, 2008: 74). Kalimat efektif tidak sekadar menghadirkan subyek, predikat, obyek, dan keterangan. Tetapi juga menghendaki tataran yang lebih tinggi dan luas daripada itu.
Umumnya kalimat majemuk hanya terdiri dari dua atau tiga klausa yang digabungkan menjadi satu. Tetapi kadang kala ada sastrawan yang menyalahi hal tersebut dengan membuat kalimat yang panjang. Bahkan satu kalimat dapat membentuk satu paragraf yang ide gagasannya belum selesai dan masih digunakan untuk paragraf berikutnya. Pembaca juga kadang dibuat kesulitan untuk memahami kalimat tersebut.         Hal tersebut juga dapat dimasukkan ke dalam tataran gaya kalimat.
3.       Majas
Majas adalah bahasa kiasan yang dapat menghidupkan atau meningkatkan efek dan menimbulkan konotasi tertentu. Majas dapat dimanfaatkan oleh para pembaca atau penulis untuk menjelaskan gagasan mereka (Tarigan, 1985: 179). Nurgiyantoro (1995: 297) menyatakan bahwa permajasan adalah (figure of thought) merupakan teknik pengungkapan bahasa, penggaya bahasan yang maknanya tidak menujuk pada makna harfiah kata-kata yang mendukung, melainkan pada makna yang ditambah, makna yang tersirat. Jadi permajasan adalah gaya yang sengaja mendayagunakan penuturan dengan memanfaatkan bahasa kias.
Majas atau gaya bahasa adalah cara pengarang atau seseorang yang mempergunakan bahasa sebagai alat mengekspresikan perasaan dan buah pikir yang terpendam didalam jiwanya. Dengan demukian gaya bahasa dapat membuat karya sastra lebih hidup dan bervariasi serta dapat menghindari hal-hal yang bersifat monoton yang dapat membuat pembaca bosan.
Majas ada bermacam-macam jenisnya, namun meskipun bermacam-macam, mempunyai sesuatu hal (sifat) yang umum, yaitu majas tersebut mempertalikan sesuatu dengan cara menghubungkanya dengan sesuatu yang lain. Majas dibedakan menjadi empat golongan yaitu majas pertentangan, majas penegasan, majas sindiran, dan majas perbandingan (Syarifudin, 2006: 18-28).

D.      PEMBAHASAN
Analisis stilistika cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu ini dititikberatkan pada pemilihan diksi, yang meliputi penggunaan leksikal bahasa selain bahasa Indonesia serta penggunaan istilah tertentu, penggunaan gaya kalimat, penggunaan majas, dan cara penulisan novel yang terlihat secara lahiriyah.
1.       Diksi
Diksi atau pilihan kata dalam cerpen Gerhana Mata beraneka ragam. Pemanfaatan kata-kata atau memilih kata bertujuan untuk memperoleh keindahan guna menambah daya ekspresivitas. Maka sebuah kata akan lebih jelas, jika pilihan kata tersebut tepat dan sesuai. Ketepatan pilihan kata bertujuan agar tidak menimbulkan interpretasi yang berlainan antara penulis atau pembicara dengan pembaca atau pendengar, sedangkan kesesuaian kata bertujuan agar tidak merusak suasana.
Dalam karya sastra penggunaan diksi atau pilihan kata sangat beragam. Hal ini mungkin di sengaja oleh pengarangnya untuk keindahan sastra itu sendiri. Dari sekian banyak novel yang banyak menggunakan diksi (pilihan kata) adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Dalam cerpen ini juga digunakan beberapa istilah yang susah kita pahami namun sangat menggambarkan sesuatu, sehingga akan tanpak sekali cirri atau jenis sastra yang ada pada cerpen tersebut.
Karya sastra terdiri atas beberapa genre (jenis) salah satunya adalah prosa, yang juga disebut fiksi (fiction), dunia dalam kemungkinan, bahkan dunia dalam kata. Hal ini disebabkan “dunia” yang diciptakan, dibangun, ditawarkan, diabstraksikan dan sekaligus ditafsirkan lewat kata-kata, lewat bahasa. Salah satu prosa fiksi tersebut dapat berwujud sebuah cerpen.
Cerita pendek atau cerpen merupakan salah satu karya sastra yang habis dibaca sekali duduk.  Cerita pendek bukan ditentukan oleh banyaknya halaman untuk mewujudkan cerita tersebut atau sedikit tokoh yang terdapat di dalam cerita itu, melainkan lebih disebabkan oleh ruang lingkup permasalahan yang ingin disampaikan oleh bentuk karya sastra itu. Jadi jenis cerita yang pendek belum tentu dapat digolongkan menjadi cerita pendek, jika ruang lingkup permasalahannya tidak memenuhi persyaratan sebagai cerpen.
Salah satu cerpen yang sangat menarik untuk dikaji menggunakan analisis stilistika adalah cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu. Cerpen ini menarik untuk dikaji karena mengandung banyak majas (gaya bahasa) dan bahasa kiasan.
Stilistika merupakan ilmu tentang gaya bahasa, menjadi suatu disiplin ilmu yang mempelajari gaya-gaya bahasa. Sebenarnya, penggunaan dari gaya dan ilmu gaya itu secara luas meliputi seluruhaspek kehidupan manusia, bagaimana segala sesuatu dilakukan, dinyatakan, dan diungkapakan. Secara sempit, gaya dan atau ilmu gaya digunakan pada kajian bahasa dan sastra, khususnya cerpen.
Gerhana matahari salah satu cerpen Nai, sebutan Djenar,  yang menyajikan gaya bahasa unik di dalamnya. Ada beberapa gaya bahasa atau majas yang terkandung pada tiap goresan kalimatnya.
Misal dalam cuplikan :
    ..... . Membuat mereka tak tenang. Membuat mereka rela menukar ketidaktenangan itu dengan harga listrik .... .
    .... . Saya hanya ingin mendengar apa yang ingin saya dengar. Saya hanya ingin melihat apa yang saya lihat. ....
Dari beberapa poin cuplikan tersebut di atas terdapat  kalimat yang mengandung gaya bahasa Paralelisme. Paralelisme merupakan gaya bahasa yang mengulang isi kalimat yang maksud tujuannya serupa. Gaya bahasa ini biasanya digunakan penulis sebagai penekanan makna.
Pada cerpen ini juga terdapat gaya bahasa Hiperbola yang merupakan gaya bahasa  melebih-lebihkan suatu hal. Pada cerpen Gerhana Mata juga ditemukan beberapa gaya bahasa hiperbola, seperti:
    Saya hanya perlu mencinta dan dengan seketika butalah mata saya.
    Mata saya pun semakin buta. Dicengkeram gerhana.
Dengan menyajikan kata buta pada kalimat tersebut di atas, makna yang ditimbulkan akan berbeda. Buta yang dimaksud bukan bermakna tidak bisa melihat melainkan rela melakukan atau menerima resiko apapun.
Selain itu ada gaya bahasa Paradoks dalam cerpen ini, perhatikan beberapa cuplikan di bawah ini:
    Hampir menyerupai pasar yang ingar bingar namun tanpa penerangan.
    Saya tetap mendengar suaranya melantunkan senandung  yang  membuat saya merasa itulah saat terindah untuk sekarat.
Paradoks merupakan gaya bahasa yang mengemukakan hal yang seolah-olah bertentangan, namun sebenarnya tidak karena objek yang dikemukakan berbeda. Terbukti dengan menyajikan dua hal yang berbeda antara pasar dengan peperangan (cuplikan pertama).
Di samping gaya bahasa, Djenar Maesa Ayu juga menggunakan bahasa kiasan untuk menekankan makna dan mempertahankan unsur estetis seperti gaya bahasa Simile. Simile adalah bahasa kiasan yang mennyamakan satu hal dengan hal lain dengan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan Simile terdapat pada:
    Pada sesuatu yang membuat mata kita seolah buta dan mau tak mau harus meraba-raba.
    .... suara-suara dari luar dunia, seperti suara ponsel yang berdering tak henti-hentinya......
    Mata yang seperti mengatakan bahwa tidak ada siapa pun di dunia ini selain saya.
Ada juga gaya bahasa Personifikasi. Personifikasi merupakan bahasa kiasan yang mempersamakan benda mati dengan manusia, benda-benda mati dibuat dapat berbuat, berpikir, dan sebagainya seperti manusia. Bahasa Kiasan Personifikasi dalam cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu terdapat pada:
    .... Kenangan yang memang hanya layak mendekam dalam gelap itu seolah mengacung-acungkan telunjukknya meminta waktu untuk diingat setiap kali malam bergulir .... .
    .... Saya tidak perlu menutup semua pintu dan tirai dan pintu serta membuat sela-sela terbuka yang membiarkan cahaya menerobos masuk supaya kegelapan yang saya inginkan sempurna.
Perhatikan cuplikan kalimat di bawah ini:
    Saya tidak membutuhkan kacamata matahari demi mendapatkan gelap di kala siang menyala.
    Saya menamakan kebutaan itu gerhana mata.
    Walaupun tidak jarang kebutaan yang memabukkan itu terganggu oleh suara-suara dari luar dunia.
Cuplikan dari cerpen di atas  mengandung metafora. Metafora adalah bahasa kiasan seperti perbandingan, hanya tidak mempergunakan kata-kata pembanding. Bahasa kiasan metafora yang terdapat pada cerpen Gerhana Mata menambah gairah estetis cerpen tersebut.
Berdasarkan analisis di atas disimpulkan bahwa Cerpen Gerhana Mata karya Djenar Maesa Ayu  mengandung gaya bahasa dan bahasa  kiasan yang terdiri atas  paralelisme, paradoks, hiperbola, personifikasi, metafora, dan simile. Gaya bahasa dan bahasa kiasan tersebut berfungsi memberikan efek estetis atau keindahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
Copyright Majid T Dhuro © 2010 - All right reserved - Using Abdul Majid Tamum
Best viewed with Mozilla, IE, Google Chrome and Opera.